بِسْـــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
ADAKAH BID'AH HASANAH ?
Sering sekali kita mendengar istilah bid'ah hasanah,
di antara mereka yang memunculkan syubhat ini berdalih dengan perkataan para 'ulamaa' di antaranya : Imam asy-Syafi'iy rahimahullaahu ta'ala berkata, "Bid'ah itu ada dua, bid'ah terpuji dan bid'ah tercela.
Apa saja yang sesuai dengan As-Sunnah adalah terpuji dan apa saja yang bertentangan dengan As-Sunnah adalah tercela.
" Pada lafazh lainnya dikatakan, "Hal-hal baru yang diada-adakan itu ada dua jenis.
- 1. Hal-hal baru yang bertentangan dengan al-Qur'an, As-Sunnah, Atsar dan Ijma', inilah bid'ah yang sesat.
- 2. Kebaikan yang diada-adakan dan tidak ada pertentangan di dalamnya di antara manusia. Ini hal-hal baru yang tidak tercela." (Manaaqibusy Syaafi'i, I/468 - 469, Jaami'ul 'Uluum wal Hikam, II/131)
"Sebaik-baik bid'ah adalah ini (shalat Tarawih berjama'ah).
" Mendudukkan perkataan beliau rahimahullaahu ta'ala.
1. Sungguh pada dasarnya setiap ucapan seseorang hatta seorang Shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam atau selainnya yang menyalahi atau menyelisihi Al-Kitab (Al-Qur-an) dan As-Sunnah (Al-Hadits) wajib untuk ditolak dan ditinggalkan, sebab mereka (para 'ulamaa') sendiri yang memerintahkan demikian, agar mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah.
Imam Abu Hanifah rahimahullaahu ta'ala berkata, "Tidak halal bagi seseorang mengambil perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya." (I'laamul Muwaqqi'iin, III/488)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata, "Apabila suatu hadits itu shahiih, maka itulah madzhabku." (Iiqaazhul Himam, hal. 62)
Imam Malik bin Anas rahimahullaahu ta'ala berkata, "Sesungguhnya aku hanya seorang manusia, terkadang aku benar dan terkadang salah. Maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan As-Sunnah (hadits) maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka tinggalkanlah.
" Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata, "Setiap manusia, siapa pun dia perkataannya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali penghuni kuburan ini, yaitu kuburan Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam.
" (Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlihi, I/775, no. 1435, 1436)
Imam Asy-Syafi'iy rahimahullaahu ta'ala berkata, "Setiaporang pasti terlewat dan luput darinya salah satu Sunnah (hadits) Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Apa pun pendapat yang aku katakan atau prinsip yang aku tetapkan (katakan) kemudian ada hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yang ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang diambil. Dan itulah yang menjadi pendapatku." (Manaaqib al-Imam asy-Syafi'iy, I/475, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/46 - 47)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata,
"Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam itulah yang lebih patut diikuti. Maka janganlah kalian taklid kepadaku." (Manaaqib al-Imam asy-Syafi'iy, I/473, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/45 - 46)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaahu ta'ala berkata, "Kalian tidak boleh taklid kepadaku, tidak boleh juga taklid kepada Malik, Syafi'iy, al-Auza'i, dan ats-Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambil." (I'laamul Muwaqqi'iin, III/469)
Jelaslah apa yang dikatakan oleh para 'ulamaa' Salafush Shalih memerintahkan untuk mendengar dan taat kepada Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dan melarang ummat Islam untuk taklid buta kepada mereka.
2. Bid'ah yang dimaksudkan oleh Imam Asy-Syafi'iy rahimahullaahu ta'ala sendiri adalah bid'ah dari segi bahasa, dan itu terbukti dari penukilan beliau rahimahullaahu ta'ala dari atsar '
Umar bin Al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu bahwasanya beliau berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."
Telah kita ketahui bersama bahwasanya shalat sunnah tarawih adalah sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, sebab :
¤ Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam yang mencontohkan.
¤ Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri yang memerintahkan (menganjurkan) untuk ditegakkannya.
¤ Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam yang memotivasi dilakukan secara berjama'ah dan seterusnya.
Di antara sekian dalil bahwa shalat sunnah tarawih adalah sunnah Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dan bukan bid'ah yang dibuat- buat oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu adalah :
a. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ta'ala 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa melakukan qiyaam Ramadhan (Tarawih) bersama imam karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni." (Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 37, 2008 - 2009, Muslim, no. 759, Abu Dawud, no. 1371, at-Tirmidzi, no. 682, 807, dan an-Nasaa-i, III/201, IV/154, 155, 156, 157, VIII/117 - 118)
Imam An-Nawawi rahimahullaahu ta'ala berkata, "Yang dimaksud dengan qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih." (Syarah Shahiih Muslim, VI/38)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu ta'ala juga berkata, "Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih." (Fat-hul Baari, IV/251)
Selain itu dalam hadits 'Amr bin Murrah Al-Juhany radhiyallaahu ta'ala 'anhu, ia berkata, "Seorang laki-laki dari Qudhaa'ah datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata,
'Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau seandainya saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allaah, dan engkau adalah utusan Allaah, saya mengerjakan shalat lima waktu, saya melakukan qiyam Ramadhan, dan saya mengeluarkan zakat?'
Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Barangsiapa yang meninggal di atas hal ini, ia termasuk sebagai para shiddiqin dan orang-orang yang mati syahid.'" (Shahiih, HR. Ibnu Khuzaimah, no. 2212, Ibnu Hibbaan, no. 3438, ath- Thabarani dalam Musnad Asy- Syaamiyin, no. 2939, dan al-Khathiib al-Baghdadi dalam Jaami' li Akhlaaq Ar-Raawy, II/207, Qiyam Ramadhan, hal. 18)
b. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai selesai, maka ditulis baginya (pahala) shalat sepanjang malam." (Shahiih, HR. Abu Dawud, no. 1375, at- Tirmidzi, no. 806, an-Nasaa-i, III/202, ad-Darimi, no. 1783, dan Ibnu Majah, no. 1327, Irwaa-ul Ghaliil, no. 447) Dalam hadits lainnya,
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya seseorang apabila mengerjakan shalat bersama imam sampai selesai, maka dihitung baginya bagaikan mengerjakan qiyam satu malam penuh." (Hasan, HR. Abu Dawud, no. 1375, at- Tirmidzi, no. 806, an-Nasaa-i, III/83, 202 - 203, Ibnu Majah, no. 1327, Ahmad, V/159, 163, dan al-Baihaqi, II/494 - 495)
c. Dari Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallaahu ta'ala 'anha, beliau berkata, "Suatu malam, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat di masjid, kemudian orang-orang turut melaksanakannya dengan bermakmum kepada beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam. Malam berikutnya, shalat itu dilaksanakan lagi, dan orang-orang (yang turut mengerjakannya pun) bertambah banyak. Pada malam ketiga atau yang keempat, mereka telah berkumpul (bersiap-siap untuk menjadi jama'ah shalat tarawih), namun Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak keluar untuk melaksanakannya bersama mereka.
Keesokan harinya, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya aku mengetahui apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk menemui kalian, melainkan karena aku khawatir shalat itu akan diwajibkan atas kalian. ' Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Ramadhan." (Shahiih, HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya, no. 1129, Fat-hul Baari, III/10, dan Muslim dalam Shahiih-nya, kitab ash-Shalaatul Musaafiriin, I/524, no. 761) Dalam riwayat lain disebutkan :
"Hanya saja, aku khawatir shalat (tarawih) itu akan diwajibkan kepada kalian, kemudian kalian tidak mampu mengerjakannya." (Shahiih, HR. Al-bukhari dalam Shahiih-nya, kitab ash-Shalaatut Taraawih, no. 2012, Fat-hul Baari, IV/250 - 251, dan Muslim dalam Shahiih-nya, kitab ash-Shalaatul Musaafiriin, I/524, no. 761, 768)
d. Imam An-Nawawi rahimahullaahu ta'ala berkata, "Dan hukum shalat Tarawih adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama." (Al-Majmuu', III/526, dan Syarah Shahiih Muslim, VI/38)
Ibnu Rusyd rahimahullaahu ta'ala berkata, "Dan para ulama bersepakat (ijma') bahwa qiyam Ramadhan sangat dianjurkan lebih dari qiyam pada bulan lainnya." (Bidayaatul Mujtahid, I/209)
Imam Ibnu Qudaamah rahimahullaahu ta'ala berkata, "Hukum shalat Tarawih adalah sunnah muakkadah, dan yang awal kali menetapkan sunnah tersebut adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam." (Al-Mughniy, II/601)
Maka sudah diketahui bahwasanya shalat sunnah tarawih adalah sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan bukan perbuatan bid'ah yang diada- adakan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu, dan itu terbukti pada zaman Abu Bakar ash- Shiddiq dan 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhuma sendiri dilakukan shalat tarawih, itu tergambar seperti asbabul wurud 'Umar bin al- Khaththab radhiyallaahu ta'ala sendiri.
Dari Abu Muhammad 'Abdurrahman bin 'Abdil Qari Al Madani rahimahullaahu ta'ala berkata, "Saya keluar ke masjid bersama 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu pada bulan Ramadhan. Di sana banyak sekali orang yang terpencar- pencar shalatnya. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat sendiri, tetapi ada beberapa orang yang mengikutinya.
Lalu 'Umar bin al- Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu berkata, "Demi Allaah, sesungguhnya saya melihat jika saya satukan mereka dengan seorang imam tentu akan lebih baik."
Maka, 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu pun mengumpulkan mereka dengan 'Ubay bin Ka'ab radhiyallaahu ta'ala 'anhu sebagai imam. Kemudian, saya keluar lagi bersama 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu pada malam yang lain, dimana orang-orang shalat dengan qari' (imam) mereka.
Maka 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu berkata, "Sebaik-baik bid'ah ialah ini." (Shahiih, HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya, kitab Shalaah at- Taraawiih, no. 1129, 1871, Muslim dalam Shahiih-nya, kitab Shalaah al- Musaafiriin, no. 761, Malik dalam Al- Muwaththa', kitab An-Nidaa li Ash- Shalaah, bab Ma Ja'a fi Qiyam Ramadhan, no. 231, al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, no. 3122, dan 'Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf, no. 7723)
Jadi jelas bahwa bid'ah yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi'iy rahimahullaahu ta'ala ketika beristinbath dengan atsar 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu adalah bid'ah dari segi bahasa bukan istilah syar'iyyah sebagaimana perkataan Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullaahu ta'ala yang berkata, "Yang dimaksud dengan bid'ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari'at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari'at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari'at tidaklah dikatakan sebagai bid'ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid'ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan.
Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid'ah semacam itu. Tak ada bedanya antara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin. Terdapat beberapa riwayat dari sebagian ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid'ah padahal yang dimaksud tidak lain bid'ah secara bahasa, bukan menurut syari'at.
Contohnya adalah ucapan 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu ketika beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat sunnah Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau radhiyallaahu ta'ala 'anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjama'ah. Maka, beliau radhiyallaahu ta'ala 'anhu berkata, 'Sebaik-baik bid'ah adalah ini."" (Shahiih, HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya, kitab Shalaah at- Taraawiih, no. 1129, 1871, Muslim dalam Shahiih-nya, kitab Shalaah al- Musaafiriin, no. 761, Malik dalam Al- Muwaththa', kitab An-Nidaa li Ash- Shalaah, bab Ma Ja'a fi Qiyam Ramadhan, no. 231, al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, no. 3122, dan 'Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf, no. 7723) [Jaami'ul 'Uluum wal Hikam, II/128]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani rahimahullaahu ta'ala berkata, "Muhadatsaat (perkara-perkara yang baru) berasal dari kata muhdatsah, maksudnya adalah sesuatu yang diadakan dan tidak memiliki sumber syari'at. Dalam istilah syari'at disebut bid'ah. Sedangkan yang memiliki sumber dari syari'at tidak termasuk bid'ah.
Bid'ah dalam pengertian syari'at (istilah) adalah tercela. Berbeda dengan bid'ah dalam pengertian bahasa, karena segala sesuatu yang diadakan tanpa contoh disebut bid'ah, baik perkara itu terpuji atau tercela." (Fat-hul Baari, XXXVI/30)
Lihatlah perkataan para 'ulamaa' bahwasanya bid'ah yang mempunyai dasar dari al-Qur-an dan As-Sunnah serta tidak menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma' maka ia bukanlah bid'ah meskipun secara bahasa dikatakan bid'ah berbeda bid'ah secara istilah karena para 'ulamaa' ketika mendefinisikan sesuatu, mereka selalu membawakan definisi dari sisi bahasa dan istilah (syara'). Karena makna syar'i bila bertentangan dengan makna lughawi (bahasa), maka lebih didahulukan makna syar'i sebagaimana disebutkan dalam kitab- kitab ushul fiqh. Contoh sederhananya adalah shalat, secara bahasa artinya do'a, dan secara istilah syari'at artinya perbuatan (amalan) dan perkataan yang khusus yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam.
3. Kalaupun benar bahwa Imam Asy- Syafi'iy rahimahullaahu ta'ala membagi bid'ah menjadi dua seperti pelaku bid'ah inginkan maka, perkataan beliau rahimahullaahu ta'ala bukanlah hujjah, sebab beliau manusia biasa yang bisa benar dan juga keliru! Maka kita wajib mengikuti suri teladan kita Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullaah (al-Qur-anul Karim) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama dan setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." (Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 86, 184, 922, Muslim, no. 867 - 868, Ahmad, I/392 - 393, II/310 - 311, Abu Dawud, no. 1097, 2118, an-Nasa-i, III/104 - 105, At-Tirmidzi, no. 1105, Ibnu Majah, no. 1892, al-Hakim, II/182 - 183, Ath- Thayalisi, no. 336, Abu Ya'la, no. 5211, ad-Darimi, II/142, dan al-Baihaqi, III/214, III/215, VII/146, Kutaib Khuthbatul Haajah)
Dari al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu ta'ala 'anhu bahwa ia berkata, "Suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, "Wahai Rasulullah! Nasehat ini seakan- akan ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?"
Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." (Shahiih, HR. Ahmad dalam Musnadnya, IV/126 - 127, Abu Dawud, no. 4607, Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42, 43, ad-Darimi, I/44, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 5, at- Taliiqaatul Hisan, no. 102, al-Mawaarid, Hakim, I/95 - 96, Baihaqi, X/114, Imam Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, no. 54 - 59, Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, I/205, no. 102, Imam al-Laalika'i dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah, I/83, no. 81. Derajat hadits ini Shahiih lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 937 dan 2735 dan Irwaa-ul Ghaliil VIII/107 - 109, no. 2455)
Bagaimana mungkin kita mengikuti manusia yang tidak ma'shum sementara meninggalkan manusia yang ma'shum (Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam)? Bukankah Allaah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya, amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." (QS. Al-A'raaf [7] : 3)
"Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisaa' [4]:65)
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allaah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allaah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzaab [21]:36)
Allah 'Azza wa Jalla berfirman : "Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya." (QS. Al-Hasyr [59] : 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala ketika menafsirkan ayat di atas berkata, "Hendaknya berhati-hati orang yang menyelisihi syari'at Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam secara lahir dan batin, mereka akan ditimpa fitnah di dalam hatinya berupa kekufuran, kemunafiqkan dan bid'ah, atau ditimpa dengan fitnah di dunia dengan dibunuh, diberi hukuman hadd, dipenjara atau yang lainnya." (Tafsir Ibnu Katsir, VI/89 - 90)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan. " Para Shahabat bertanya, "Siapakah yang enggan, wahai Rasulullah?" Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia akan masuk Surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah enggan." (Shahiih, HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya, kitab al-I'tisham bi al- Kitab wa As-Sunnah, bab al-Iqtida' bi Sunan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, XIII/249, no. 7280, dan Ahmad dalam Musnad-nya, II/361)
Lalu mengapa kita tidak memikirkan wahai orang-orang yang mempunyai pikiran? Allaah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang keras." (QS. Ali 'Imraan [3] : 105)
Qatadah rahimahullaahu ta'ala berkata ketika menafsirkan ayat di atas : "Bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah ahlul bid'ah. Merekalah yang suka berselisih dan berpecah- belah karena meninggalkan sunnah dan mengikuti jalan-jalan selainnya." (Al-Ihtimaam bis Sunnah an- Nabawiyyah, hal. 58)
4. Kalaupun pelaku bid'ah bersikeras mengatakan : "Tapi 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu telah berbuat bid'ah?" Pada hakikatnya orang ini keras kepala sebab sebagaimana telah saya jelaskan bahwa yang dimaksud adalah bid'ah secara bahasa. Kalaupun di anggap membuat bid'ah maka tidak tepat, sebab Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah melegalkan atau membenarkan para al- Khulafa'ur Rasyidin untuk melakukan suatu sunnah baru lebih tepatnya menghidupkan sunnah yang telah lama ditinggalkan oleh manusia.
Dari al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu ta'ala 'anhu bahwa ia berkata, "Suatu hari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, "Wahai Rasulullah! Nasehat ini seakan- akan ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?
" Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. (Shahiih, HR. Ahmad dalam Musnadnya, IV/126 - 127, Abu Dawud, no. 4607, Tirmidzi, no. 2676, Ibnu Majah, no. 42, 43, ad-Darimi, I/44, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 5, at- Taliiqaatul Hisan, no. 102, al-Mawaarid, Hakim, I/95 - 96, Baihaqi, X/114, Imam Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, no. 54 - 59, Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, I/205, no. 102, Imam al-Laalika'i dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah, I/83, no. 81. Derajat hadits ini Shahiih lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 937 dan 2735 dan Irwaa-ul Ghaliil VIII/107 - 109, no. 2455)
Kita diperintahkan untuk mengikuti dan mentaati sunnah-sunnah tersebut hingga beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam memberikan penekanan agar digigit dengan gigi geraham, tentunya gigi geraham adalah gigi yang paling kuat untuk mengunyah, itulah sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu ta'ala berkata, "Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam telah menggabungkan Sunnah Shahabatnya dengan Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi mereka tidak melakukannya. Karena jika tidak, maka itu juga termasuk Sunnah beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam. Hal ini juga meliputi apa yang difatwakan mereka secara keseluruhan atau sebagian besar dari mereka atau sebagian mereka karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengaitkannya dengan apa yang disunnahkan (dicontohkan) oleh al- Khulafa'ur Rasyidin. Dan sudah dimaklumi, jika mereka mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan, maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka (Shahabat) pada masa beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah termasuk Sunnah al- Khulafa'ur Rasyidin." (I'laamul Muwaqqi'iin, V/581)
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullaahu ta'ala berkata, "Sabda beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas terdapat perintah untuk berpegangteguh dengan Sunnah Rasulullah Muhammad shallallaahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Sunnah al-Khulafa'ur Rasyidin sepeninggal beliau. Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegangteguh kepada keyakinan- keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para al-Khulafa'ur Rasyidin. Itulah Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi Salaf dahulu tidak menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut." (Jaami'ul 'Uluum wal Hikam, II/120)
Kalaulah pelaku bid'ah berdalil dengan atsar 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu bahwasanya beliau membuat-buat bid'ah di dalam Islam (padahal sebenarnya tidak sebagaimana telah saya jelaskan) maka ini membuka lebar-lebar pintu bid'ah hingga orang awam yang bodoh pun akan membuat-buat bid'ah di dalam Islam, sebab ia akan berkata : "Jika 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu saja bisa, mengapa saya tidak?" Akhirnya ia pun berinovasi (baca : berbuat bid'ah) dengan menambah shalat Shubuh 3 raka'at, Zhuhur dan 'Ashar 5 raka'at, Maghrib 4 raka'at dan 'Isya' 5 raka'at. Karena ia berdalil kan nggak ada larangannya dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam maka jadilah perbuatan bid'ah merajalela dan syari'at Islam pun hancur.... Pertanyaannya jika Shahabat telah mendapat jaminan dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan kalian?!
5. Hadits 'Aisyah radhiyallaahu ta'ala 'anha dengan amat jelas dan gamblang menerangkan bahwa perbuatan bid'ah di dalam agama yang tidak mempunyai dasar sama sekali adalah tertolak tidak akan diterima Allaah Rabbul 'Izzati wal Jalalah. Sebab agama ini adalah milik Allaah, tentu kita harus mengikuti apa- apa yang disyari'atkan oleh Allaah dan Rasul-Nya bukan justru membuat-buat bid'ah yang tidak disyari'atkan. Dari 'Aisyah radhiyallaahu ta'ala 'anha, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mengada-adakan hal yang baru (bid'ah) di dalam urusan agama kami ini yang tidak ada contoh sebelumnya maka amalan tersebut tertolak." (Shahiih, Muttafaqun 'alaihi. HR. Al- Bukhari dalam Shahiih-nya, Kitab ash- Shulhi, Bab Idzash Thalahuu 'ala Shulhi Jaurin, no. 2697, Muslim dalam Shahiih-nya, Kitab al-Aqdhiyah, Bab Naqdhi al-Ahkam al-Bathilah, no. 1718 [17, 18], Ahmad dalam Musnad-nya, VI/73, 146, 180, 240, 256, 270, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitab as- Sunnah, Bab Fii Luzumis Sunnah, no. 4606, dan Ibnu Majah dalam Sunan- nya, Bab Ittiba'i Sunnati Rasulillah, no. 14)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahiih-nya disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa melakukan suatu amalan, yang tidak ada contoh sebelumnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak." (Shahiih, HR. Muslim, no. 1718 [17, 18])
Imam An-Nawawi rahimahullaahu ta'ala menjelaskan bahwa makna tertolak dalam hadits ini dengan berkata, "Makna tertolak dalam amalan tersebut adalah bathil dan tidak diakui." (Syarh Shahiih Muslim, XII/16)
Imam Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala berkata, "Setiapamalan yang tidak ikhlas dan tidak berlandaskan syari'at yang diridhai (sesuai dengan sunnah) maka ia adalah amalan yang bathil." (Tafsiir Ibnu Katsiir, III/304)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridha'i) Allah?" (QS. Asy-Syuura [42] : 21)
Al-'Allamah Al-Faqh Asy-Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullaahu ta'ala menafsirkan ayat di atas berkata, "'Mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allaah."
Artinya melakukan perbuatan syirik dan bid'ah serta mengharamkan apa yang dihalalkan Allaah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allaah, atau yang sejenisnya sesuai dengan hawa nafsu mereka. Padahal ajaran agama itu hanyalah apa-apa yang disyari'atkan Allaah 'Azza wa Jalla semata, sebagai acuan hamba untuk beragama dan mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi, setiap orang harus dicegah untuk membuat suatu ajaran yang tidak disyari'atkan oleh Allaah maupun Rasul-Nya Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam." (Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, VI/609)
Tentu jika perbuatan bid'ah di dalam agama itu disyari'atkan sudah pasti Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam katakan : "Berbuat bid'ahlah, karena itu adalah perbuatan baik." Namun sungguh kenyataannya tidaklah demikian, justru sebaliknya pelaku bid'ah akan mendapatkan laknat Allaah, para malaikat dan manusia seluruhnya.
Dari 'Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ta'ala 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa mengada-ada sesuatu yang baru (bid'ah di dalam agama) atau mendukung pelaku bid'ah, maka akan mendapat laknat Allah 'Azza wa Jalla, para malaikat, dan manusia semuanya." (Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 1870, 3179, dan Muslim, no. 1366, 1370)
6. Bukankah ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam syari'at Islam telah sempurna sebagaimana Allah Ta'ala tegaskan : "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i Islam sebagai agamamu." (QS.Al-Maa'idah[5]:3)
'Abdullah bin 'Abbas radhiyallaahu ta'ala 'anhuma (seorang ahli tafsir dari kalangan Shahabat ridwaanullahi 'alaihim ajma'iin yang telah di do'akan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam) menafsirkan ayat di atas dengan berkata, "Itu adalah agama Islam. Allaah mengabarkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang beriman bahwa Allaah 'Azza wa Jalla telah menyempurnakan iman mereka. Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan tambahan lagi (di dalam ibadah) untuk selamanya.
Allaah Subhanahu wa Ta'ala juga telah menyempurnakannya, maka Dia tidak akan menguranginya untuk selamanya. Allaah Rabbul 'Izzati wal Jalalah telah ridha dengan agama ini (Islam), maka Dia tidak akan membencinya untuk selama-lamanya." (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Jami' Al-Bayan 'An Takwil Ayi Al-Qur- an, IX/510, no. 285)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala ketika menafsirkan ayat di atas dengan berkata, "Inilah nikmat Allaah yang terbesar, yang diberikan kepada ummat ini (Al- Islam), di mana Allaah telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh lagi pada agama selainnya, dan tidak butuh pula kepada seorang Nabi pun selain Nabi mereka (Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam). Karena itu, Allaah 'Azza wa Jalla menjadikan Nabi mereka (Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam) sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada manusia dan jin. Tidak ada kehalalan kecuali apa yang dihalalkan olehnya, tidak ada keharaman kecuali apa yang diharamkannya, dan tiada agama kecuali apa yang disyari'atkan olehnya." (Tafsir Ibnu Katsir, III/26)
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullaahu ta'ala meriwayatkan dari Harun bin Antharah, dari ayahnya, ia mengatakan, "Ketika turun ayat ini, 'Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu.' yaitu pada haji wada' (haji perpisahan) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu menangis.' Melihat hal itu, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Apa yang membuatmu menangis?' Ia menjawab. 'Yang membuatku menangis bahwa sebelumnya (pemeluk) agama kita terus bertambah. Adapun jika sudah sempurna, maka tidaklah sesuatu itu sempurna melainkan selanjutnya akan berkurang (kualitas keimaman pemeluknya).' Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Kamu benar.'" (Tafsir ath-Thabari, IX/519)
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta'ala membawakan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ta'ala 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Islam mula-mula datang dalam keadaan asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awal kemunculannya, maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing (al- Ghurabaa')." (Shahiih, HR. Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanu annal Islam Bada-a Ghariiban wa Saya'uudu Ghariiban, I/130, no. 145, 146)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaahu ta'ala meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, ia mengatakan bahwa seorang Yahudi datang kepada 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu seraya mengatakan, "Wahai Amirul Mukminin, ada satu ayat yang biasa kalian baca dalam kitab kalian. Seandainya ayat tersebut turun pada kami, kaum Yahudi, niscaya kami telah menjadikan hari tersebut sebagai 'Id (hari raya).
'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu bertanya, "Ayat yang mana?" Kemudian orang Yahudi tersebut berkata, "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu." Lalu 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu berkata, "Demi Allaah, sungguh kami telah mengetahui hari dan waktu di mana ayat itu turun kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu pada sore hari di 'Arafah pada hari Jum'at." (Shahiih, HR. Ahmad, I/9)
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh para ulama ahlul hadits seperti Al- Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An- Nasaa-i, juga dari jalan Thariq bin Syihab ia mengatakan bahwa orang- orang Yahudi berkata kepada 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu, "Demi Allaah, sesungguhnya kalian membaca suatu ayat yang seandainya turun pada ummat kami (Yahudi), niscaya kami telah menjadikannya 'Id (hari raya)." 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu berkata, "Ayat yang mana?" Ia berkata, "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agamamu." Lalu 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ta'ala 'anhu berkata, "Sungguh, aku mengetahui saat diturunkannya ayat itu, tempat di mana diturunkannya, dan di mana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berada ketika ayat itu turun, yakni pada hari 'Arafah pada waktu haji perpisahan. Dan aku, demi Allaah, berada di 'Arafah." (Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 4606, Fat-hul Baari, VIII/119, Muslim, IV/2313, no. 3017, an-Nasaa-i, V/251, dan at-Tirmidzi, no. 3043)
Bukankah dengan adanya bid'ah hasanah di dalam Islam menunjukkan secara tidak langsung ajaran Islam belum sempurna sehingga dapat ditambah atau dikurang-kurangi?
Padahal Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh, aku telah tinggalkan kalian di atas (agama) yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya sepeninggalku kecuali akan binasa. Sungguh siapa yang hidup di antara kalian (setelah aku wafat) maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kalian berpegang dengan apa yang kalian ketahui dari Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian." (Shahiih, HR. Ahmad, IV/127, Ibnu Majah, no. 43, al-Hakim, I/96, dan al- Baihaqi dalam al-Madkhal, no. 51, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, no. 937)
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, "Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siang, tidaklah ada orang yang menyimpang darinya melainkan orang yang binasa." (Shahiih, HR. Ahmad, IV/126, Ibnu Majah, no. 5, Ibnu Abi 'Ashim, no. 44, 47, 48, 49)
Dari Salman radhiyallaahu ta'ala 'anhu, beliau berkata, "Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, 'Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!' Maka, Salman radhiyallaahu ta'ala 'anhu menjawab, 'Ya !.' (Shahiih, HR. Muslim, no. 262 (57), Abu Dawud, no. 7, at-Tirmidzi, no. 16 dan Ibnu Majah, no. 316)
Imam Malik rahimahullaahu ta'ala pernah berkata, "Barangsiapa yang melakukan suatu bid'ah dalam Islam yang dia menganggap baik bid'ah tersebut, maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah ini. Sebab Allaah Subhanahu Ta'ala berfirman : "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha'i Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Maa'idaah [5] : 3)
"Oleh sebab itu apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu (yaitu pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya), maka ia bukan termasuk agama pula pada hari ini." (Al-I'tisham, I/64)
Inilah kesempurnaan agama Islam yang tidak dimiliki agama selain agama Islam.
7. Mereka juga berdalil (lebih tepatnya berdalih) dari hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik di dalam Islam, ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang mengikutinya (hingga hari Kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan di dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut dan orang-orang yang mengikutinya (hingga hari Kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun." (Shahiih, HR. Muslim, no. 1017, Ahmad, IV/357, 358, 359, at-Tirmidzi, no. 2675, an-Nasaa-i, V/76 - 77, Ibnu Majah, no. 203, ad-Darimi, I/130 - 131, Ibnu Hibbaan, no. 3297, ath-Thahawi dalam al-Musykiil, no. 243, ath-Thayalisi, no. 705, dan al-Baihaqi, IV/175)
Dalam riwayat lain disebutkan : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, kemudian (sunnahku tersebut) diamalkan (diikuti) oleh orang lain, maka baginya pahala semisal pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala-pahala mereka. Barangsiapa yang berbuat bid'ah, kemudian perbuatannya tersebut diikuti (diamalkan) oleh orang lain, maka baginya dosa dan dosa-dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka." (Shahiih, HR. Ibnu Majah, no. 206, 208)
Jelaslah bahwa hadits di atas adalah anjuran untuk mencontoh, memulai sesuatu yang baik di dalam Islam tentu sesuatu yang baik yang telah ada tuntunannya dari Islam bukan justru membuat-buat bid'ah di dalam Islam sebab lafazh tersebut berbunyi : "Man sanna fil Islam sunnatan hasanatan dst..."
Bukan berbunyi : "Man sanna fil Islam bid'atan hasanatan dst..." Tentu, makna sunnah dengan bid'ah adalah sesuatu yang berbeda. Lalu bagaimana bisa dikatakan sunnah menjadi bid'ah?
8. Bid'ah hasanah adalah sesuatu yang baru (baca : bid'ah) itu sendiri. Sebab kenyataannya para 'ulamaa' berbeda pendapat dalam menanggapi bid'ah hasanah ini, contoh saja Imam An-Nawawi rahimahullaahu ta'ala yang konon melegalkan atau membenarkan bid'ah hasanah namun kenyataannya beliau rahimahullaahu ta'ala katakan shalat Nisyfu Sya'ban, dan shalat Raghaib adalah bid'ah yang mungkar. Begitu juga para 'ulamaa' Syafi'iyyah mengatakan tahlilan adalah bid'ah yang mungkar namun kenyataan Syafi'iyyah di zaman ini menganggapnya baik.
Lalu pertanyaannya adalah : "Bid'ah hasanah, hasanah disini hasanah menurut siapa?" Apakah sesuatu yang baik lalu bisakah dimasukkan ke dalam Islam lalu dikatakan sebagai bid'ah hasanah? Sebab kenyataannya tidak ada qawa'id dan dhawabithnya, jika demikian bolehkah adzan dan iqamah sebelum shalat sunnah tarawih dan 'Id?
Semoga Allaah Rabbul 'Izzati wal Jalalah memberikan petunjuk hidayah dan taufiq kepada kita semua. Amin...
- - - - - - - 〜✽〜 - - - - - - -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar