Rabu, 11 November 2015

Hukum Memelihara Burung Berkicau

hukum memelihara burung

Hobi Memelihara Burung

Assalamualaikum… ustazd ana mw tanya kalaupelihara burung berkicau itu boleh tidak?
jazakallahukhair atas jawabannya
Dari: Ana via Tanya Ustadz for Android
Jawaban:
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Salah satu diantara nikmat yang Allah berikan untuk manusia adalah binatang.
وَالأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ. وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ. وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُواْ بَالِغِيهِ إِلاَّ بِشِقِّ الأَنفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ. وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.  dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,  dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.. (QS. An-Nahl: 5 – 8).
Allah tegaskan dalam ayat di atas, salah satu manfaat hewan piaraan adalah ‘kamu memperoleh pandangan yang indah padanya’.Sekalipun hewan ini tidak ditunggangi, dia bisa menjadi pemandangan menarik bagi pemiliknya. Orang jawa menyebutnya ’klangenan’. Dirawat hanya untuk dipandang dan dijadikan hiasan. Fungsi semacam ini, ada pada burung piaraan.
Di samping ayat di atas, terdapat sebuah hadis yang secara tegas membolehkan kita memelihara burung. Hadis itu dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau memiliki adik laki-laki yang masih kanak-kanak, bernama Abu Umair. Si Adik memiliki burung kecil paruhnya merah, bernama Nughair.
Anas menceritakan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ – قَالَ: أَحْسِبُهُ – فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: «يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya memiliki seorang adik lelaki, namanya Abu Umair. Usianya mendekati usia baru disapih. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdatang, beliau memanggil, ‘Wahai Abu Umair, ada apa dengan Nughair?’ Nughair adalah burung yang digunakan mainan Abu Umair. (HR. Bukhari 6203, Muslim 2150, dan yang lainnya).
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan beberapa pelajaran yang disimpulkan dari ini. diantara yang beliau sebutkan,
جواز إمساك الطير في القفص ونحوه
“(Hadis ini dalil) bolehnya memelihara burung dalam sangkar atau semacamnya.” (Fathul Bari, 10/584).
As-Syarwani (w. 1301 H) – ulama madzhab Syafiiyah – mengatakan,
وسئل القفال عن حبس الطيور في أقفاص لسماع أصواتها وغير ذلك فأجاب بالجواز إذا تعهدها مالكُها بما تحتاج إليه لأنها كالبهيمة تُربط
”al-Qaffal ditanya tentang hukum memelihara burung dalam sangkar, untuk didengarkan suaranya atau semacamnya. Beliau menjawab, itu dibolehkan selama pemiliknya memperhatikan kebutuhan burung itu, karena hukumnya sama dengan binatang ternak yang diikat.” (Hasyiyah as-Syarwani, 9/210).
Pertanyaan mengenai hukum memelihara burung juga pernah disampaikan kepada Imam Ibnu Baz. Jawaban beliau,
ليس في ذلك حرج إذا لم تُظلم وأحسن إليها في طعامها وشرابها سواء كانت ببغاء أو حماماً أو دجاجاً أو غير ذلك بشرط الإحسان إليها وعدم ظلمها ، وسواء كانت في حوض أو أقفاص أو أحواض ماء كالسمك
“Tidak masalah memelihara burung, selama tidak mendzaliminya dan disikapi dengan baik dalam memberi makanan atau minuman. Baik burung kakatua, burung dara, ayam atau binatang peliharaan lainnya, dengan syarat diperlakukan dengan baik dan tidak menzhaliminya. Baik binatang itu dipelihara di dalam kolam, sangkar atau aquarium seperti ikan misalnya. Wallahu a’lam.” Fatâwa Islamiyyah (4/596).
Kemudian ada beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika memelihara burung, disamping memenuhi kebutuhan hidupnya,
Pertama, dilarang melakukan pemborosan
Islam melarang manusia melakukan pemborosan dalam urusan apapun. Termasuk pemborosan dalam urusan hobi.
Kedua, jangan habiskan waktu hanya untuk burung. Seolah-olah manusia telah menjadi pelayan bagi burung itu, sampai melalaikannya dari aktivitas yang lain.
Dulu Nabi Sulaiman pernah memiliki kuda piaraan yang sangat beliau cintai.
وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ . إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ . فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ . رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ
(Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore ( ) Dia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan”. “Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku”. lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. (QS. Shad: 30 – 33).
Karena kuda itu telah melalaikan Sulaiman, beliaupun menyembelihnya.jaket muslim yufid tv
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Minggu, 25 Oktober 2015

Al-Quran

Bismillah,
Kabar baik untuk Anda dan pecinta Al-Quran.
Insya Allah dalam 1 (satu) menit, langsung bisa mendengarkan Al-Qur'an tanpa harus tersedia penyimpanan memori.
Ayo pilih qori' dan dengarkan :

 Abdurahman al-Sudais
 ـ http://rb2.in/6K1

Saud al-Syurim
 ـ http://rb2.in/6K2

 Abdulbasit Abdusamad
 ـ http://rb2.in/5Mh  

Muhammad Alminsyawi
 ـ http://rb2.in/7zB  

Mahir Alumaiqi
 ـ http://rb2.in/7zC 

Idris Abkar
 ـ http://rb2.in/5Tg

Abdullah Aljihani
 ـ http://rb2.in/7zD  

Muhammad Almuhaisini
 ـ http://rb2.in/7zE 

Yaser Aldausari
 ـ http://rb2.in/7zF  

Nasir Alqathami
 ـ http://rb2.in/7zG 

Muhammad Ayyub
 ـ http://rb2.in/7zI 

Abdulmaula Arkani
 ـ http://rb2.in/7zJ  

Ahmad Alajmi
 ـ http://rb2.in/7zK

Masyari alaqasi
 ـ http://rb2.in/7zL 

Saad al Ghamdi
 ـ http://rb2.in/7zM  

Abubakar al-Syathri
 ـ  http://rb2.in/7zN.                                

CATATAN :
Silahkan disebarkan ke teman-teman lain yang seiman agar menjadi shodaqoh jariyah buat kita dan pembuat link ini.

Selasa, 06 Oktober 2015

APAKAH FAKTOR YANG MENENTUKAN KEMIRIPAN ANAK KITA?

ISLAMIC PARENTING (5) 

APAKAH FAKTOR YANG MENENTUKAN KEMIRIPAN ANAK KITA?

Berikut ini hadits-hadits shahih yang berhubungan dengan permasalahan kemiripan anak.

HADITS PERTAMA 
Di dalam shahih muslim, dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

هَلْ تَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ إِذَا احْتَلَمَتْ وَأَبْصَرَتِ الْمَاءَ؟ فَقَالَ: «نَعَمْ» فَقَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: تَرِبَتْ يَدَاكِ وَأُلَّتْ، قَالَتْ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعِيهَا. وَهَلْ يَكُونُ الشَّبَهُ إِلَّا مِنْ قِبَلِ ذَلِكِ، إِذَا عَلَا مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ، أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ، وَإِذَا عَلَا مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَهَا أَشْبَهَ أَعْمَامَهُ»

“Apakah seorang wanita harus mandi jika mimpi dan melihat air? “ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab “Ya”

Aisyah radhiyallahu ‘anha pun berkata “Celaka kamu!”

Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Biarkan dia. Bukankah kemiripan itu berasal dari air mani itu? Jika mani istri lebih lebih mendominasi mani suami maka anaknya akan mirip saudara-saudara ibunya, dan jika mani si suami lebih lebih mendominasi mani istri maka anaknya akan serupa dengan saudara-saudara bapaknya.”

HADITS KEDUA 
Diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

و أما الشَّبَهُ فِي الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشِيَ الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشَّبَهُ لَهُ وَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشَّبَهُ لَهَا

“Adapun kemiripan anak, apabila seorang laki-laki menyetubuhi wanita dan maninya lebih dulu masuk dari mani perempuan maka anaknya akan mirip bapaknya, Apabila mani perempuan lebih dulu masuk lebih dulu dari mani laki-laki maka anaknya akan mirip ibunya,”

HADITS KETIGA 
Dalam riwayat Muslim dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ، وَمَاءُ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ، فَإِذَا اجْتَمَعَا، فَعَلَا مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ، أَذْكَرَا بِإِذْنِ اللهِ، وَإِذَا عَلَا مَنِيُّ الْمَرْأَةِ مَنِيَّ الرَّجُلِ، آنَثَا بِإِذْنِ اللهِ

“Mani laki-laki itu putih dan mani wanita itu kuning. Apabila bertemu dua mani maka apabila mani laki-laki lebih mendominasi mani wanita maka maka anaknya laki-laki seizin Allah ta’ala. Adapun jika mani wanita lebih mendominasi mani laki-laki maka anaknya akan berjenis kelamin perempuan dengan seizin Allah.”

PERTENTANGAN ANTARA LAFAZH HADITS 
Di dalam hadits-hadits ini seolah-olah ada pertentangan.

Pada hadits ‘Aisyah disebutkan,

إِذَا عَلَا مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ، أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ

“Jika mani istri lebih mendominasi mani suami maka anaknya akan mirip saudara-saudara ibunya.”

Pada hadits ‘Anas disebutkan bahwa yang mempengaruhi kemiripan anak justru dari mani siapa yang lebih mendahului,

فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشِيَ الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشَّبَهُ لَهُ

“Apabila seorang laki-laki menyetubuhi wanita dan maninya lebih dulu masuk dari mani perempuan maka anaknya akan mirip bapaknya.”

Sedangkan pada riwayat Tsauban malah sebaliknya, banyaknya mani bukan menyebabkan kemiripan, akan tetapi menyebabkan perbedaan jenis kelamin.

فَعَلَا مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ، أَذْكَرَا بِإِذْنِ اللهِ

“Maka apabila mani laki-laki lebih mendominasi mani wanita maka maka anaknya laki-laki seizin Allah ta’ala.”

PENGUMPULAN MAKNA HADITS 
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul Bari (7/273) berusaha mengumpulkan lafazh-lafazh hadits ini. Beliau berkata,

“Yang nampak adalah apa yang telah aku sampaikan sebelumnya, yaitu dengan menta’wil lafzh “al ‘uluw/mendominasi” pada hadits ‘Aisyah (yaitu dita’wil dengan makna “as sabq/lebih mendahului” sebagaimana di dalam hadits Anas –pent).

Adapun hadits Tsauban maka “al ‘uluw” tetap bermakna “banyak”.

KESIMPULAN 
Dari ucapan Al Hafizh dapat disimpulkan bahwa “lebih mendahului” adalah penyebab jenis kelamin anak, laki-laki atau perempuan, biidznillah. Adapun “banyak atau sedikitnya” mani adalah penyebab kemiripan anak.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa sebab jenis kelamin dan kemiripan anak dibagi menjadi enam:

1. Mani suami masuk lebih dulu dan lebih banyak, maka anaknya laki-laki dan mirip keluarga bapaknya.

2. Mani istri masuk lebih dulu dan lebih banyak, maka anaknya perempuan mirip keluarga ibunya.

3. Mani suami masuk lebih dahulu, tetapi mani istri lebih banyak maka anaknya perempuan dan mirip keluarga bapaknya.

4. Mani istri masuk lebih dulu, tetapi mani suami lebih banyak, maka anaknya laki-laki mirip keluarga ibunya.

5. Mani suami masuk lebih dulu dan jumlahnya sama banyak dengan mani istri, maka anak akan mirip bapaknya tapi jenis kelaminnya tidak tentu, bisa laki-laki bisa perempuan.

6. Mani istri masuk lebih dulu dan jumlahnya sama banyak, maka anaknya akan mirip ibunya tapi jenis kelaminnya tidak tentu, bisa laki-laki bisa perempuan.

Dan semuanya ini tentunya terjadi biidznillah, dengan seizin dari Allah ‘azza wajalla.

MASALAH : BAGAIMANA KALAU TIDAK MIRIP ORANGTUANYA? 

Permasalahan ini sepertinya layak untuk ditambahkan ke dalam pembahasan hadits. Bagaimana jika anak tidak mirip dengan kedua orang tuanya? Tidak mirip bapaknya, demikian juga tidak mirip dengan ibunya?

Di dalam shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

جَاءَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي فَزَارَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلَامًا أَسْوَدَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَمَا أَلْوَانُهَا؟» قَالَ: حُمْرٌ، قَالَ: «هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ؟» قَالَ: إِنَّ فِيهَا لَوُرْقًا، قَالَ: «فَأَنَّى أَتَاهَا ذَلِكَ؟» قَالَ: عَسَى أَنْ يَكُونَ نَزَعَهُ عِرْقٌ، قَالَ: «وَهَذَا عَسَى أَنْ يَكُونَ نَزَعَهُ عِرْقٌ»،

“Seorang lelaki dari Bani Fazarah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya istriku telah melahirkan seorang anak berkulit hitam.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, “Apakah kamu punya unta?” 

Lelaki itu menjawab, “Ya.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Apa warnanya?” 

Lelaki itu menjawab, “Merah”. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah ada warna abu-abunya?” 

Lelaki tadi menjawab, “Ya, ada warna abu-abunya.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Dari manakah datangnya warna abu-abu itu?” 

Lelaki itu menjawab, “Mungkin karena faktor keturunan (genetis).” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Begitu juga dengan anakmu, mungkin sebab keturunan.” 

Al Imam An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan,

“Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa anak itu tetap diikutikan kepada sang suami meskipun warna kulitnya berbeda. Sampai-sampai walau bapaknya putih dan anaknya hitam atau sebaliknya. Tidak boleh bagi sang bapak untuk menolak sang anak hanya karena perbedaan warna kulit, meskipun kedua suami istri kulitnya putih, tapi anak yang keluar kulitnya hitam, atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan si anak mewarisi gen dari leluhur-leluhur bapak dan ibunya.”

Jadi mungkin si anak tidak mirip bapaknya, tidak mirip ibunya, akan tetapi mirip dengan kakek-kakeknya atau nenek-neneknya yang terdahulu.

👤Ustadz Wita Bachrun Al Bankawi Hafidzhahullah
_________________________

📱WA Syi'ar Tauhid : +6281281085959

Senin, 03 Agustus 2015

SUTRAH

🔰Faidah Fiqhiyyah

سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :

 أحياناً المأموم تفوته ركعة أو ركعتان فعندما يسلم الإمام يجد السترة بعيدة عنه بمقدار خطوتين أو ثلاثاً فهل يجوز له أن يتقدم إلى السترة ؟

فأجاب؛

"الذي يظهر لي من صنيع الصحابة رضي الله عنهم ، أن المسبوق لا يتخذ سترة ، وأنه يقضي بلا سترة "

 📌Syeikh Ibnu Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya;

❓Kadang-kadang seorang makmum tertinggal satu atau dua rakaat dari imam, sehingga setelah imam salam iapun mendapatkan sutrah itu jauh darinya sejarak sekitar dua langkah atau tiga langkah, maka apakah boleh baginya untuk maju mendekati sutrah??

✔Beliau menjawab:

Yang nampak bagiku adalah bahwa diantara perbuatan para sahabat radhiyallahu 'anhum adalah masbuk tidaklah mengambil sutrah dan ia menyempurnakan shalatnya tanpa sutrah.
________
◽Liqa_ul Babil Maftuh (30/232)

📝Ustadz Fauzan Abu Muhammad Al-Kutawy hafizhahullah

🔰WA Radio As-Sunnah Sidrap

              ◽◽◽

Jumat, 31 Juli 2015

MENGGANTUNGKAN/MEMAKAI JIMAT ADALAH KESYIRIKAN




MENGGANTUNGKAN/MEMAKAI JIMAT ADALAH KESYIRIKAN


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



مَنْ تَعَلَّقَ تَميمَةً فَلَا أَتَمَّ اللهُ لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدْعَة فَلَا وَدَعَ اللهُ لَهُ، وَفِي رِوَايَةٍ: مَنْ تَعَلَّقَ تَميمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah, niscaya Allah tidak akan mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa yang menggantungkan wad’ah, niscaya Allah tidak akan memberi ketenangan pada dirinya.” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain (disebutkan), “Barangsiapa yang menggantungkan tamimah, sungguh dia telah berbuat syirik.”
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelekan bagi para pemakai tamimah (jimat), yang meyakini bahwa hal itu bisa menangkal/melindungi dari bahaya, agar Allah membalikkan keadaan orang tersebut dari yang dimaksudkan dan tidak menyempurnakan urusannya, sebagaimana Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga mendoakan kejelekan bagi para pemakai wad’ah -dengan tujuan untuk menolak/melindungi diri terhadap bahaya-, agar Allah tidak membiarkan mereka merasa santai dan berada dalam ketenangan, tetapi menimpakan semua gangguan kepadanya. Doa tersebut bermaksud sebagai peringatan agar manusia tidak melakukan hal tersebut sebagaimana yang Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits kedua bahwa hal itu termasuk sebagai kesyirikan terhadap Allah.


Faedah Kedua Hadits
1. Bahwa menggantungkan tamimah dan wad’ah tergolong sebagai kesyirikan. 
2. Bahwa barangsiapa yang bersandar kepada selain Allah, Allah akan memperlakukan dia dengan memberikan sesuatu kepadanya yang berlawanan dengan maksudnya. 
3. Pensyariatan untuk mendoakan kejelekan terhadap orang-orang yang menggantungkan tamimah dan wad’ah agar mereka tidak mendapatkan hal yang dia maksudkan dan agar diberi sesuatu yang berlawanan dengan tujuan yang diinginkan. 
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]
Sumber
Fb: Dzulqarnain M. Sunusi








Sabtu, 25 Juli 2015

HARI RAYA KETUPAT BUKAN AJARAN ISLAM



Hari Raya Ketupat Bukan Ajaran Islam

Hari Raya Ketupat Bukan Ajaran Islam

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Hari Raya dalam Islam Diatur Oleh Syari'at
Hari raya dalam Islam telah ditentukan oleh syari’at, tidak boleh ditambah dan dikurangi, bahkan semua tradisi hari raya sebelum Islam tidak boleh dilestarikan. Barangsiapa menambah-nambah atau mengada-adakan hari raya atau hari peringatan selain yang ditentukan oleh syari’at maka ia telah melampaui batas dalam agama.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha]
Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu idul adha dan idul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 1039]
Dua hadits di atas menununjukkan bahwa penentuan hari raya harus berdasarkan dalil, hari raya apa pun yang tidak berdasarkan dalil maka termasuk bid’ah, mengada-ada dalam agama. Dan diantara hari raya bid’ah tersebut adalah hari raya orang-orang baik (Al-Abror), yang dikenal di negeri kita dengan istilah “Hari Raya Ketupat”.
Hari raya ini awalnya dikhususkan bagi mereka yang berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal, walau di hari-hari ini, puasa sunnah tersebut sudah hampir dilupakan dan tidak diamalkan, namun hari raya bid’ahnya tetap dirayakan, bahkan disertai dengan berbagai kemungkaran, seperti nyanyian dan musik, bercampur baur dan bersalam-salaman antara laki-laki dan wanita, dan lain-lain. Demikianlah, apabila bid’ah diada-adakan, maka sunnah akan hilang.
Al-Imam Hasan bin ‘Athiyyah rahimahullah berkata,
ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله عنهم من سنتهم مثلها ثم لا يعيدها إليهم إلى يوم القيامة
“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama, kecuali Allah akan mengangkat sunnah yang semisalnya dari mereka, dan tidak mengembalikannya sampai hari kiamat.” [Al-Hilyah, 6/73]
Bahaya Bid'ah
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiri hafizhahullah berkata,
ومن الأمور المحدثة المبتدعة في شهر شوال: بدعة عيد الأبرار، وهو اليوم الثامن من شوال. فبعد أن يتم الناس صوم شهر رمضان، ويفطروا اليوم الأول من شهر شوال -وهو يوم عيد الفطر- يبدأون في صيام الستة أيام الأول من شهر شوال، وفي اليوم الثمن يعلونه عيداً يسمونه عيد الأبرار
“Termasuk perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) di bulan Syawwal adalah bid’ah Idul Abrar (Hari Raya Ketupat), yaitu pada hari kedelapan bulan Syawwal. Setelah orang-orang menyelesaikan puasa Ramadhan, mereka berhari raya idul fitri pada tanggal 1 Syawwal, hari berikutnya mereka mulai berpuasa Syawwal, dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka namakan Idul Abrar (Hari Raya Ketupat).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وأما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول التي يقال: إنها ليلة المولد، أو بعض ليالي رجب، أو ثامن عشر ذي الحجة، أو أول جمعة من رجب، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال عيد الأبرار: فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف، ولم يفعلوها. والله سبحانه وتعالى أعلم
“Adapun membuat musim tertentu (untuk ibadah dan hari raya) selain musim-musim yang ditetapkan oleh syari’at seperti menjadikan sebagian malam bulan Rabi’ul Awwal yang dinamakan malam “Maulid”, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari kedelapan Dzulhijjah, atau Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari kedelapan bulan Syawwal yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan Idul Abrar (Hari Raya Ketupat), maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak disunnahkan oleh Salaf (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat) dan mereka tidak mengamalkannya. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam.” (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/298)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,
وأما ثامن شوال: فليس عيداً لا للأبرار ولا للفجار، ولا يجوز لأحد أن يعتقده عيداً، ولا يحدث فيه شيئاً من شعائر الأعياد
“Adapun hari kedelapan Syawwal, maka bukan termasuk hari raya, bukan bagi orang-orang baik (al-abror) bukan pula bagi orang-orang jelek (al-fujjar), maka tidak boleh bagi seorang pun untuk meyakininya sebagai hari raya, dan tidak boleh mengada-adakan satu pun syi’ar-syi’ar hari raya di hari tersebut.” (Lihat Al-Ikhtiyaraat Al-Fiqhiyyah, hal. 199)
ويكون الاحتفال بهذا العيد في أحد المساجد المشهور فيختلط النساء بالرجال، ويتصافحون ويتلفظون عند المصافحة بالألفاظ الجاهلية، ثم يذهبون بعد ذلك إلى صنع بعض الأطعمة الخاصة بهذه المناسبة
“Hari raya ini biasa dirayakan di salah satu masjid terkenal, maka para wanita pun bercampur baur dengan kaum lelaki, saling berjabat tangan dan mengucapkan lafaz-lafaz Jahiliyah ketika berjabat tangan, kemudian mereka pergi untuk menyediakan berbagai macam makanan khusus demi perayaan ini. (Lihat As-Sunan wal Mubtada’at lisy Syuqairi, hal. 166).”
[Dinukil dari kitab Al-Bida’ Al-Hauliyah karya Asy-Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijirihafizhahullah, hal. 347-348]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham 



Selasa, 21 Juli 2015

TENTANG PARA PENGGAMBAR. ✏ Dzulqarnain M_Sunuzi



TENTANG PARA PENGGAMBAR

Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,


قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي، فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوا شَعِيرَةً


“Allah Ta’âlâ berfirman,
‘Siapakah yang (perbuatannya) lebih zhalim daripada orang yang (bermaksud) mencipta seperti ciptaan-Ku? Maka cobalah mereka (untuk) mencipta seekor semut terkecil, sebutir biji-bijian, atau sebutir gandum.’.”
Dikeluarkan oleh keduanya (Al-Bukhâry dan Muslim).

Karena menggambar merupakan sarana (yang mengantar kepada) kesyirikan -yang merupakan lawan tauhid-, sangatlah tepat bagi penulis untuk meletakkan bab ini guna menjelaskan keharaman perbuatan tersebut juga (menjelaskan) hal-hal yang datang tentang (perbuatan) itu berupa ancaman keras.

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan dari Rabb-nya ‘Azza wa Jalla bahwa Dia berfirman,
“Tiada seorang pun yang kezhalimannya lebih dahsyat daripada penggambar lukisan yang berbentuk ciptaan Allah,” karena dengan begitu ia berupaya untuk menyerupai Allah dalam perbuatan-Nya.

Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menantangnya dan menjelaskan kelemahan orang seperti itu untuk menciptakan sesuatu yang paling kecil dari ciptaan-ciptaan-Nya yaitu dzarrah (semut yang paling kecil), bahkan dia tidak mampu menciptakan yang lebih rendah daripada hal itu, yaitu benda mati yang kecil (biji gandum atau biji lain). Meskipun demikian mereka tidak mempunyai kesanggupan atas semua itu, karena memang Allah bersendirian dalam penciptaan.
Karena hadits ini menunjukkan keharaman membuat gambar, dan bahwa hal itu tergolong ke dalam kezhaliman terbesar.
Faedah Hadits
  • 1. Keharaman membuat gambar dengan sarana apapun yang ada, dan bahwa pembuat gambar adalah termasuk orang yang paling zhalim.
  • 2. Menyifati Allah, bahwasanya Allah berbicara.
  • 3. Bahwa membuat gambar adalah menyamai penciptaan Allah dan merupakan upaya untuk berserikat dengan-Nya dalam penciptaan.
  • 4. Bahwa kemampuan menciptakan adalah kekhususan Allah Subhânahu wa Ta’âla.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan].






BAHAYA PARA PENGGAMBAR MAKHLUK BERNYAWA

(Diriwayatkan) oleh keduanya dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, (beliau berkata) bahwa Rasululah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهِئُونَ بِخَلْقِ اللهِ

“Manusia yang siksanya paling pedih pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan ciptaan Allah.”
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan suatu berita yang bermakna larangan dan pencegahan, bahwa orang yang membuat gambar adalah orang yang paling berat adzabnya di akhirat, karena mereka telah melakukan pelanggaran yang sangat buruk yaitu mereka membuat apa yang menyerupai ciptaan Allah dalam pembuatan gambar.
Hadits ini menunjukkan beratnya hukuman bagi orang yang mem¬buat gambar, yang memberikan faedah bahwa membuat gambar adalah suatu dosa besar.
Faedah Hadits
  • 1. Pengharaman membuat gambar dengan segala bentuknya dan dengan alat apapun, dan bahwa sesungguhnya hal itu menyerupai penciptaan Allah.
  • 2. Bahwa adzab pada hari kiamat berbeda-beda sesuai dengan dosa-dosanya.
  • 3. Bahwa membuat gambar adalah termasuk dosa paling dahsyat, dan termasuk dosa besar.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan].







KEHARAMAN MENGGAMBAR MAKHLUK BERNYAWA

(Diriwayatkan) oleh keduanya (Al-Bukhâry dan Muslim) dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, (beliau berkata), “Saya mendengar Rasululah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ber¬sabda,


كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسٌ يُعَذَّبُ بِهَا فِي جَهَنَّمَ

‘Setiap penggambar berada di neraka. Setiap gambar yang dia buat dihidupkan, lalu ia diadzab dengan (gambar yang telah dihidupkan) itu di dalam neraka Jahannam.’.”

(Diriwayatkan) pula oleh keduanya dari (Ibnu ‘Abbâs) secara marfu’ (bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda),


مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا، كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

“Siapa saja yang membuat gambar di dunia, dia akan dibebankan untuk meniupkan ruh pada (gambar) itu (saat hari kiamat), dan dia pasti tidak mampu meniupkan (ruh).”

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa tempat kembali orang-orang yang membuat gambar pada hari kiamat nanti adalah neraka. Mereka diadzab di dalamnya dengan adzab yang sangat dahsyat, yaitu dengan cara didatangkannya semua gambar yang telah dibuatnya ketika di dunia, kemudian dijadikan (ditiupkanlah) ruh pada setiap gambar dari gambar-gambar tersebut, lalu ia pun dikuasai oleh adzab di neraka jahannam. Maka mereka diadzab dengan apa yang telah dibuat oleh tangannya sendiri -kita berlindung kepada Allah darinya-.

Juga, termasuk bentuk adzab terhadapnya adalah bahwa ia dibebani dengan sesuatu yang tidak dia sanggupi, yaitu meniupkan ruh pada gambar-gambar yang telah dia buat.

Bahwa pada hadits tersebut, terdapat dalil tentang keharaman mem¬buat gambar dan ancaman terhadap orang yang menggambar.
Faedah Hadits
  • 1. Pengharaman membuat gambar, dan bahwa hal itu temasuk dosa besar.
  • 2. Pengharaman membuat gambar pada seluruh jenisnya: lukisan (dua dimensi) atau pahatan (tiga dimensi), baik itu lukisan tangan atau gambar yang diambil melalui alat pengambil gambar fotografi (kamera), kalau gambarnya adalah termasuk yang memiliki nyawa, kecuali kalau untuk keperluan yang bersifat darurat.
  • 3. Pengharaman membuat gambar dengan tujuan apapun, kecuali untuk menolak bahaya.
  • 4. Pada riwayat terakhir terdapat dalil tentang lamanya adzab bagi orang-orang yang membuat gambar dan ditampakkannya kelemahan mereka.
  • 5. Pada riwayat terakhir terdapat dalil bahwa mencipta dan meniupkan ruh tidak ada yang mampu melakukan keduanya kecuali hanya Allah Ta’âlâ.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan].






KEWAJIBAN MENGHILANGKAN GAMBAR MAKHLUK BERNYAWA

(Diriwayatkan) oleh Muslim dari Abul Hayyâj, beliau berkata, “Ali radhiyallâhu ‘anhu berkata kepadaku,


أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَلَّا تَدَعَ صُورَةً إِلَّا طَمَسْتَهَا، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

‘Maukah engkau kuutus untuk suatu (tugas) sebagaimana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengutus diriku untuk (tugas) tersebut? Yaitu: janganlah engkau membiarkan sebuah gambar, kecuali harus engkau hapus, dan janganlah ada suatu kuburan yang ditinggikan, kecuali harus engkau ratakan.’.”

Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib menawarkan kepada Abul Hayyâj untuk diarahkan agar melaksanakan perkara penting yang telah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam arahkan agar dilaksanakan, yaitu:
(1menghilangkan gambar dan menghapusnya. Karena ada padanya penyamaan dengan ciptaan Allah dan timbulnya fitnah dengan pengagungan terhadapnya. Hal ini bisa menjadikan pelakunya sebagai penyembah berhala. 
(2Juga meratakan kubur yang tinggi sehingga sedatar dengan tanah karena, tentang meninggikan kuburan, terdapat fitnah terhadap pelakunya dan menjadikan mereka sebagai tandingan-tandingan bagi Allah dalam ibadah dan pengagungan.Hadits ini menunjukkan kewajiban menghapus dan memusnahkan gambar.
Faedah Hadits
  • 1. Keharaman membuat gambar serta kewajiban menghilangkan dan menghapus gambar dalam segala jenisnya.
  • 2. Saling berwasiat dengan kebenaran, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar, serta menyampaikan ilmu.
  • 3. Keharaman meninggikan kuburan, baik dengan bangunan maupun dengan selainnya, karena hal itu merupakan sarana yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan.
  • 4. Kewajiban menghancurkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan.
  • 5. Bahwa membuat gambar adalah sama dengan membangun di atas kuburan, (sama-sama) merupakan sarana yang dapat mengantar¬kan kepada kesyirikan.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan].

Sumber:
Fb: Dzulqarnain M.Sunuzi 
- - - - - - - 〜✽〜 - - - - - - -



Minggu, 19 Juli 2015

Nyanyian dan Musik yang Dibolehkan di Hari Raya



Nyanyian dan Musik yang Dibolehkan di Hari Raya

Nyanyian dan Musik yang Dibolehkan di Hari Raya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Nyanyian dan Musik yang Dibolehkan di Hari Raya
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللهِ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Abu Bakr masuk dan ketika itu bersamaku ada dua orang anak kecil perempuan dari kalangan Anshar bersenandung syair kaum Anshor pada perang Bu’ats, dan kedua anak itu bukanlah penyanyi. Maka Abu Bakr berkata, “Apakah seruling-seruling setan di rumah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam!?” Dan ketika itu hari raya, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abu Bakr, biarkan mereka karena sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat Muslim,
جَارِيَتَانِ تَلْعَبَانِ بِدُفٍّ
“Dua orang anak kecil perempuan bermain rebana.”
#Beberapa_Pelajaran:
1) Sebagian orang salah memahami hadits ini sebagai dalil pembolehan nyanyian dan musik, padahal justru sebaliknya, hadits ini adalah dalil pengharaman nyanyian dan musik dari beberapa sisi, diantaranya:
Pertama: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan Abu Bakr radhiyallahu’anhu bahwa musik adalah seruling setan, hanya saja Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan kepada beliau tentang adanya nyanyian dan musik yang diperkecualikan.
Kedua: Abu Bakr radhiyallahu’anhu telah mengetahui sebelumnya bahwa nyanyian dan musik itu haram sehingga beliau mengingkari dengan keras, hanya saja beliau belum mengetahui nyanyian dan musik yang diperkecualikan.
Ketiga: Ucapan Aisyah radhiyallahu’anha, “Dan kedua anak itu bukanlah penyanyi”, menurut Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah adalah bentahan terhadap kaum Sufi yang menganggap hadits ini sebagai dalil pembolehan nyanyian, maka Aisyah mengingkari hal tersebut, bahwa kedua anak itu bukan penyanyi.
Keempat: Terdapat dalil-dalil yang sangat banyak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang haramnya musik, diantaranya firman Allah ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِين
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” [Luqman: 6]
Sahabat yang Mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu ketika menjelaskan makna, “Perkataan yang tidak berguna” dalam ayat di atas, beliau berkata,
الغناء، والله الذي لا إله إلا هو، يرددها ثلاث مرات
“Maksudnya adalah nyanyian, demi Allah yang tidak ada yang berhak disembah selain Dia,” beliau mengulangi sumpahnya tiga kali.” [Tafsir Ath-Thobari, 21/39, sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir, 6/330]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

وكذا قال ابن عباس، وجابر، وعِكْرِمة، وسعيد بن جُبَيْر، ومجاهد، ومكحول، وعمرو بن شعيب، وعلي بن بَذيمة
وقال الحسن البصري: أنزلت هذه الآية: {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ} في الغناء والمزامير
“Penafsiran yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Makhul, ‘Amr bin Syu’aib dan Ali bin Badzimah. Dan berkata Al-Hasan Al-Basri, turunnya ayat ini, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan”, dalam (mencela) nyanyian dan alat-alat musik.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/331]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada nanti segolongan umatku yang menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki diharamkan), khamar dan alat-alat musik.” [HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud dari Abu Malik Al-‘Asy’ari radhiyallahu’anhu]
2) Hadits Aisyah ini memberikan pengecualian nyanyian dan musik yang dibolehkan apabila terpenuhi beberapa syarat:
Syarat Pertama: Dinyanyikan anak kecil perempuan yang belum baligh dan tidak memunculkan fitnah (godaan bagi laki-laki), oleh karena itu sebagian ulama menghukumi laki-laki yang menyanyi dan bermain musik sebagai banci, menyerupai wanita.
Syarat Kedua: Syair yang dinyanyikan tidak bertentangan dengan syari’at, tidak seperti syair-syair nyanyian syahwat anak muda yang memabukkan hati dan melalaikan dari berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan menurut Al-Qurthubi rahimahullah bahwa ucapan Aisyah radhiyallahu’anha,“Dan kedua anak itu bukanlah penyanyi”, menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui nyanyian, maka nyanyian yang dimaksudkan di sini tidak seperti nyanyian-nyanyian kotor yang sudah dimaklumi.
Syarat Ketiga: Hanya dinyanyikan pada momen-momen tertentu saja, seperti di hari raya dan resepsi pernikahan, bukan kebiasaan atau hobi tiap hari, apalagi dijadikan profesi.
Syarat Keempat: Tidak diiringi alat musik kecuali rebana murni, yaitu rebana yang tidak disertai tambahan alat-alat lain yang biasa ditempelkan atau dikaitkan di sampingnya, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan bahwa pembolehan rebana tidak melazimkan pembolehan lainnya. Maka dipahami pembolehan rebana hanyalah pengecualian.
Syarat Kelima: Yang menyanyikannya tidak berprofesi sebagai penyanyi, dan itu adalah profesi yang haram, dahulu yang menekuni profesi ini hanyalah budak-budak, bahkan harga mereka menjadi murah apabila diketahui sebagai ‘artis’, namun anehnya pekerjaan haram ini sangat diminiati hari ini dan diberi bayaran yang tinggi, bahkan para pemain seruling setan tersebut menjadi idola-idola manusia, laa hawla wa laa quwwata illa billah.
3) Nyanyian dan musik adalah maksiat, apabila digunakan untuk beribadah kepada Allah, seperti nyanyian-nyanyian kaum Sufi, atau pengiring dzikir, takbir dan sholawat, atau sebagai sarana dakwah, maka keharamannya bertambah, yaitu disamping maksiat, juga termasuk kategori menambah-nambah atau berbuat bid’ah dalam agama.
4) Dalam hadits ini Abu Bakr radhiyallahu’anhu mencela anaknya Aisyah radhiyallahu’anha dan dua orang anak kecil tersebut, maka ini menunjukkan bahwa seorang ayah tetaplah memberikan bimbingan kepada anaknya walau ia sudah menikah dan memberikan teguran apabila anaknya menyelisihi syari’at.
5) Hari raya adalah hari yang dianjurkan oleh syari’at untuk bersenang-senang dan bersuka cita, selama tidak melanggar syari’at.
6) Setiap umat memiliki hari raya tersendiri, dan hari raya umat Islam telah ditentukan oleh syari’at, tidak boleh ditambah dan dikurangi, oleh karena itu semua hari perayaan seperti maulid, muharram, isra’ mi’raj, kemerdekaan dan lain-lain adalah termasuk bid’ah dan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir.
7) Tidak boleh bergembira dan bersuka cita ketika hari raya kaum musyrikin dan menyerupai mereka atau ikut merayakan.
8) Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa ketika itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan menutupi dirinya dengan pakaiannya sehingga tidak terlihat oleh Abu Bakr radhiyallahu’anhu, maka ini menunjukkan beliau pun berpaling dari musik yang dibolehkan tersebut karena kedudukan beliau sebagai orang yang paling takwa, namun beliau tidak mengingkarinya maka menunjukkan kebolehannya, sebab beliau tidak mungkin membiarkan kemungkaran, namun kebolehannya harus dalam bentuk seperti yang beliau bolehkan tersebut, tidak boleh ditambahi.
9) Disyari’atkan memberi kelapangan kepada keluarga di hari-hari raya selama tidak bertentangan dengan syari’at, hal itu demi membuat mereka nyaman dan bersantai sejenak setelah capek beribadah.
10) Bolehnya seorang bapak memasuki rumah putrinya yang sudah menikah dan memberikan pengajaran kepadanya walau di depan suaminya.
11) Kelembutan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap istri beliau untuk meraih cintanya.
12) Orang-orang yang terpandang dengan kebaikan ilmu dan ketakwaan hendaklah berpaling dari melakukan kesia-siaan dan permainan meskipun bukan dosa, yang lebih pantas melakukan itu hanyalah anak-anak kecil.
13) Seorang murid hendaklah bersegera mengingkari kemungkaran yang terjadi di depan gurunya, demi menjaga kemuliaan gurunya tersebut.
14) Seorang murid boleh berfatwa di depan gurunya dengan fatwa yang mencocoki metode gurunya.
15) Memuliakan seorang guru, karena kemungkinan dalam hadits ini –sebagaimana kata Al-Hafizh- bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sedang tidur, sehingga Abu Bakr radhiyallahu’anhu tidak ingin beliau terganggu.
16) Meskipun nyanyian dan musik tersebut diperkecualikan dari yang haram namun Aisyah radhiyallahu’anha tetap memerintahkan kedua anak perempuan tersebut untuk pergi demi menjaga perasaan bapaknya dan karena takut dimarahi.
17) Rasa malu Aisyah radhiyallahu’anha untuk berbicara di depan orang yang lebih tua dan lebih berilmu darinya, terlebih bapaknya sendiri.
18) Nikmatnya persatuan para sahabat dalam Islam setelah dahulu sebelum masuk Islam mereka saling berperang.
19) Bahayanya pengaruh nyanyian dan musik terhadap jiwa manusia sehingga para sahabat mengingkarinya dengan keras.
20) Kemudahan, keistimewaan dan kesempurnaan syari’at Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
[Disarikan dari Fathul Bari, 2/440-442]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم