Jumat, 22 Mei 2015

Hukum Bersiwak Ketika Khutbah Jum’at

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sholat Jum'at1
Tanya:
بعض الناس من المسلمين يستعملون المسواك والخطيب يخطب يوم الجمعة، فما حكم عملهم؟
Sebagian kaum muslimin menggunakan siwak ketika khatib sedang berkhutbah Jum’at, apa hukum amalan mereka?
Jawab:
السنة وقت الخطبة الإنصات وترك العبث، ولهذا قال صلى الله عليه وسلم : (من مس الحصى فقد لغى). والسنة أن يترك السواك ويترك العبث بالحركة ويقبل على الخطبة مستمعاً منصتاً خاشعاً ، هذا هو الأولى بالمؤمن ولو أن السواك مشروع لكن في غير هذا المحل ، مشروع عند الدخول في الصلاة، عند الوضوء ، لكن أن يتسوك في هذه الحالة الأولى ترك ذلك؛ لأنه قد يشغله عن الاستماع المطلوب مثل أن مس الحصى أو شبه ذلك قد يشغلهم عن ذلك
Dalam As-Sunnah ketika khutbah adalah diam mendengarkan dan tidak melakukan hal yang sia-sia, oleh karena itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَى
“Barangsiapa yang memegang-megang batu (saat khatib berkhutbah) maka ia telah berbuat sia-sia.” [HR. Muslim]
Jum'at 2
Maka dalam As-Sunnah hendaklah tidak bersiwak ketika khatib sedang khutbah dan tidak melakukan hal yang sia-sia dengan gerakan. Dan hendaklah fokus mendengarkan khutbah, diam dan khusyu’, inilah yang lebih utama bagi seorang mukmin. Meskipun bersiwak itu disyari’atkan namun ini bukan tempatnya.
Bersiwak disyari’atkan ketika mau masuk sholat dan ketika wudhu, adapun ketika sedang mendengarkan khutbah maka lebih baik ditinggalkan, karena hal itu bisa menyibukkan dari mendengarkan khutbah, sama seperti memegang-megang batu dan yang semisalnya, dapat menyibukkan dari mendengarkan khutbah.”
[Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Nuurun ‘alad Darb, 13/318-319]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم





Kamis, 21 Mei 2015

Sya'ban


بسم الله الرحمن الرحيم

Sya'ban, Bulan Diangkatnya Amal Shalih dalam Setahun:

Sahabat yang Mulia Usamah bin Zaid radhiyallahu'anhuma berkata, "Aku pernah bertanya: Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada suatu bulan melebihi Sya'ban?"
Beliau bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَان , وَهُوَ شَهْر تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَال إِلَى رَبّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

"Sya'ban itu adalah bulan yang manusia melalaikannya, berada di antara Rajab dan Ramadhan, padahal ia adalah bulan diangkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabb semesta alam, maka aku ingin ketika amalanku diangkat, aku sedang berpuasa." [HR. Abu Daud dan An-Nasaai, Shahih An-Nasaai: 2221]


 Ustadz Sofyan Ruray  حفظه الله

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
- - - - - - - 〜✽〜 - - - - - - -

Sumber: fb,Sofyanruray.









Rabu, 20 Mei 2015

Studi Komprehensif Hadits-hadits tentang Puasa Sya’ban

بسم الله الرحمن الرحيم
 Al-Ustadz Abdul Barr hafizhahullah

Puasa Sya'ban
Studi Komprehensif Hadits-hadits tentang Puasa Sya’ban

الحمد لله و الصلاة و السلام على رسول الله و على آله و أصحابه و من والاه، أما بعد
Puja dan syukur kita panjatkan kepada Allah atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, serta sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulillah beserta keluarganya, sahabatnya, serta orang-orang yang setia kepadanya.
Pada kesempatan kali ini insya Allah kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan puasa Sya’ban.
Ada beberapa hadits yang menyebutkan tentang puasa Sya’ban dan keutamaannya. Diantaranya hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan An-Nasaai serta yang lainnya dari sahabat Usamah bin Zaid radhiallahu’anhuma, di situ dia berkata kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
 قلت: ولم أرك تصوم من الشهور ما تصوم من شعبان؟ قال: ذاك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع الأعمال فيه إلى رب العالمين عز وجل فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم
“Wahai Rasulullah aku tidak melihat engkau berpuasa dari bulan-bulan dalam setahun sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban? Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab: Bulan Sya’ban adalah bulan yang kebanyakan orang lalai darinya, yang ada di antara Rajab dan Ramadhan, dia adalah bulan diangkatnya amalan kepada Allah Rabbil ‘alamin azza wa jalla maka aku senang amalanku diangkat dalam keadaan aku berpuasa.” [Shahih An-Nasaai: 2221]
Hadits tersebut sangat jelas menunjukkan keutamaan berpuasa Sya’ban.
Kemudian ada beberapa permasalahan:
Pertama: Apakah disunnahkan untuk berpuasa sebulan penuh di bulan Sya’ban?
Jawabannya adalah disunnahkan sebagaimana dalam fatawa Syaikh Bin Baz, beliau berkata,
وهكذا شعبان فقد كان يصومه كله صلى الله عليه وسلم، وربما صامه إلا قليلا كما صح ذلك من حديث عائشة وأم سلمة رضي الله عنهما
“Demikian juga dengan puasa Sya’ban, sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban sebulan penuh dan kadang-kadang beliau berpuasa hampir seluruhnya kecuali sedikit sebagaimana telah shahih dari Aisyah dan Ummu Salamah.”
Kedua: Kalau disunnahkan untuk berpuasa sebulan penuh bagaimana dengan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadahan sebagaimana hadits yang shahih dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa beliau berkata,
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari pada Sya’ban”. Demikian juga ada hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang semakna.
Penjelasannya sebagai berikut:
Hadits Aisyah tersebut ada beberapa lafal tambahan sebagaimana di Shahih Al-Bukhori no. 1970 disebutkan,
 كان يصوم شعبان كله
“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban semuanya.”
Adapun tambahan di Shahih Muslim no. 1156 disebutkan,
كان يصوم شعبان كله كان يصوم شعبان إلا قليلا
“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban semuanya,(sebagaimana) beliau berpuasa Sya’ban hampir semuanya kecuali sedikit.”
Ada riwayat juga dari beliau (Aisyah) dan Ummu Salamah radhiyallahu’anhuma di Sunan At-Tirmidzi (736),
كان يصوم شعبان إلا قليلا بل كان يصومه كله
“Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa kebanyakannya kecuali sedikit dan bahkan beliau berpuasa semuanya.”
Diriwayatkan juga oleh Ummu Salamah (736) dengan lafal,
ما رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم يصوم شهرين متتابعين إلا شعبان و رمضان
“Tidak pernah aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ber puasa dua bulan berturut-turut kecuali Sya’ban dan Ramadhan.”
Telah dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di Fathul Baari (4/214),
قال الترمذي كأن بن المبارك جمع بين الحديثين بذلك وحاصله أن الرواية الأولى مفسرة للثانية مخصصة لها وأن المراد بالكل الأكثر وهو مجاز قليل الاستعمال واستبعده الطيبي قال لأن الكل تأكيد لإرادة الشمول ودفع التجوز فتفسيره بالبعض مناف له قال فيحمل على أنه كان يصوم شعبان كله تارة ويصوم معظمه أخرى لئلا يتوهم أنه واجب كله كرمضان 
“Berkata Imam Tirmidzi: Sepertinya Ibnul Mubaarak mengkompromikan antara dua hadits tersebut. Hadits pertama dikhususkan dengan hadits kedua, dan maksud sebulan penuh adalah kebanyakan harinya, akan tetapi itu adalah majaz yang jarang dipakai (dalam Bahasa Arab).
Dan (yang demikian) telah dianggap jauh (dari pemahaman yang benar) oleh Imam At-Thibi, beliau berkata: Karena kata (الكل) sebagai bentuk penekanan bahwa yang diinginkan adalah keseluruhan, dan dalam kesempatan ini sebagai bentuk penolakan terhadap majaz, dan menafsirkan semua dengan sebagian bertentangan dengan hal tersebut (أن الكل تأكيد لإرادة الشمول).
Kemudian beliau berkata: Maka maknanya yang diinginkan adalah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban sebulan penuh terkadang dan kali lain kebanyakan harinya agar jangan dikira wajib semuanya seperti ramadhan.”
Berkata Al-‘Aini di Syarah Bukhorinya tatkala menukil perkataan Imam Tirmidzi dari Ibnul Mubarak,
وقال شيخنا زين الدين، رحمه الله تعالى: هذا فيه ما فيه، لأنه قال فيه إلا شعبان ورمضان، فعطف رمضان عليه يبعد أن يكون المراد بشعبان أكثره، إذ لا جائز أن يكون المراد برمضان بعضه، والعطف يقتضي المشاركة فيما عطف عليه
“Berkata guru kami Zainnuddin rahimahullah (atas tafsiran Ibnul Mubaarok) ada pembahasan di dalamnya karena disebutkan dengan lafal (شعبان و رمضان) digabungkan antara Sya’ban dan Ramadhan, sementara (عطف), penggabungan antara Ramadhan dengan Sya’ban membuat jauh penafsiran puasa Sya’ban dengan kebanyakannya karena tidak boleh diinginkan dengan Ramadhan sebagian Ramadhan saja, karena (العطف), penggabungan tersebut mengharuskan adanya kesamaan satu dengan yang lainnya (sama-sama berpuasa sebulan penuh).”
Kecuali dibangun di atas mazhab yang mengatakan lafal satu bisa dibawa ke dua makna hakikat dan majaz, maka dikomentari oleh Al-‘Aini: Itupun tidak bisa dalam permasalahan ini karena di sini bukan satu lafal tapi ada dua lafal Sya’ban dan Ramadhan.”
Demikian juga dikatakan oleh mulla Ali Al-Qori di Al-Mirqoh no hadits 2036 (4/1409),
قال النووي: الثاني تفسير للأول، وبيان قولها كله أي غالبه اهـ. وهو تأويل بعيد، حمله عليه قولها في الرواية الأولى ” قط إلا رمضان ” وقيل: المراد أنه يصومه كله في سنة وأكثره في سنة أخرى فالمعنى على العطف اهـ. وهو أقرب لظاهر اللفظ
“Berkata Imam Nawawi: Lafal kedua sebagai tafsir yang pertama  dan penjelasan ungkapan “Semuanya” yang dimaksudkan kebanyakannya, dan itu takwil yang jauh (dari kebenaran) karena dia melihat perkataannya (Aisyah) di riwayat pertama, “Sama sekali tidak kecuali ramadhan”.
Dan dikatakan yang dimaksud adalah, beliau shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban terkadang di suatu tahun semuanya dan terkadang sebagian besar hari di tahun yang lain, dan itu makna dari (العطف), penggabungan Ramadhan dan Sya’ban, dan ini lebih dekat dengan dhohir.”
Dari penjelasan di atas kita pahami bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terkadang berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan.
Kemudian bisa juga dikatakan, seandainyapun Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali Ramadhan, itu bukan berarti puasa Sya’ban sebulan penuh bukan sunnah. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan:
Satu: Sudah ada hadits umum yang menunjukkan tentang sunnahnya puasa Sya’ban sebulan penuh sebagaimana hadits Usama bin Zaid radhiyallahu’anhuma tadi.
Dua: Tidaklah semua yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berarti hal tersebut tidak sunnah atau terlarang. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (Masalah 285),
وَمَا صَامَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – قَطُّ شَهْرًا كَامِلًا غَيْرَ رَمَضَانَ؛ وَلَيْسَ هَذَا بِمُوجِبٍ كَرَاهِيَةَ صَوْمِ شَهْرٍ كَامِلٍ تَطَوُّعًا
“Dan ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak berpuasa sebulan penuh sama sekali kecuali Ramadhan maka ini tidak menunjukkan makruhnya berpuasa sebulan penuh tathowwu’ (sunnah) pada bulan lainnya.”
Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak berpuasa Daud bukan berarti puasa Daud tidak sunnah, sebagaimana juga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak rutin sholat Dhuha bukan berarti rutin sholat Dhuha tidak sunnah. Sehingga para sahabat tetap berkeyakinan sunnahnya sholat Dhuha secara rutin sebagaimana yang dipahami oleh Aisyah dan Abu Huroiroh radhiyallahu’anhuma.
[Faidah] Permasalan yang dibahas oleh ulama apakah perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka hal tersebut terlarang?
Jawabannya, tidak semua perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kemudian menjadi terlarang atau tidak disunnahkan. Sebagaimana dikatakan,
الترك ليس بحجة في شرعنا *** لا يقتضي منعا ولا إيجابا
فمن ابتغى حظرًا بتـرك نبينا *** ورآه حكمًا صادقًا وصوابا
 قد ضل عن نهج الأدلـة كلها *** بل أخطأ الحكم الصحيح وخاب
 لا حظر يمكن إلا إن نهي أتى *** متوعــدا لمخالفيه عذابا
أو ذم فعل مؤذن بعقـوبة *** أو لفظ تحـريم يواكــب عابا
        Tidaklah perkara yang ditinggalkan sebagai hujjah dalam syariat kita …
Tidaklah juga ia menunjukkan hal yang terlarang atau kewajiban …
Siapa yang berdalil tentang terlarangnya perkara yang ditinggalkan Nabi kita -shallallahu’alaihi wa sallam …
Dan dia berpendapat sebagai suatu hukum yang benar …
Maka sungguh dia telah melenceng dari metode pendalilan …
Bahkan dia telah menyalahi hukum yang benar …
Ketiga: Kalau disunnahkan berpuasa Sya’ban sebulan penuh, lalu bagaimana dengan hadits, “Kalau sudah masuk pertengahan Sya’ban janganlah kalian berpuasa.” Hadits ini dikeluarkan oleh imam-imam sebagai berikut:
 الإمام أحمد (442/2)، و أبو داود و الترمذي (738)،والنسائ و ابن ماجة (1651)، و الدارمي (1691)، و عبد الرزاق (7325)، و ابن أبي شيبة (21/3)، و ابن حبان (3589) و (3591)، و الحاكم و الطحاوي في شرح معاني الآثار (82/2)، و البيهقي (209/4)  كلهم من طريق العلاء بن عبد الرحمن عن أبيه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلّى الله عليه و سلّم
Imam Ahmad (2/442), Abu Daud dan Tirmidzi (738), An-Nasai dan Ibnu Majah (1651), Ad-Darimi (1691), ‘Abdur Rozzaq (7325), Ibnu Abi Syaibah (3/21), Ibnu Hibban (3589, 3591), Al-Hakim, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma’aanil Aatsar (2/82), Al-Baihaqi (4/209). Semuanya melalui jalan Al-‘Ala’ bin AbdurRahman dari bapaknya dari Abu Hurairoh dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits ini dishohihkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu AbdilBarr, dan kalangan ulama sekarang Syaikh Albani. Akan tetapi disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab,
وتكلم فيه من هو أكبر من هؤلاء وأعلم وقالوا: هو حديث منكر منهم الرحمن بن المهدي والإمام أحمد وأبو زرعة الرازي والأثرم وقال الإمام أحمد: لم يرو العلاء حديثا أنكر منه
“Telah melemahkan hadits ini ulama yang lebih besar dan lebih berilmu dari yang tadi disebutkan, seperti AbdurRahman bin Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zur’ah dan Al-Atsram. Berkata Imam Ahmad: Al-‘Ala’ tidaklah meriwayatkan hadits yang lebih mungkar melebihi hadits ini.”
Sampai disebutkan di Makroj ‘Ilal Iklil,
وَقَدْ خَرَّجَ مُسْلِمٌ أَحَادِيثَ الْعَلَاءِ , أَكْثَرَهَا فِي الصَّحِيحِ , وَتَرَكَ هَذَا وَأَشْبَاهَهُ مِمَّا تَفَرَّدَ بِهِ الْعَلَاءُ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
“Dan telah dikeluarkan oleh Imam Muslim hadits Al-‘Ala’ dan telah banyak dikeluarkan di dalam Shahihnya akan tetapi beliau tidak keluarkan hadits ini dan yang semisalnya tatkala Al-‘Ala’ bersendirian meriwayatkan dari bapaknya dari Abu Hurairoh.”
Kesimpulannya, bisa dikatakan memang Al-‘Ala’ tsiqoh bahkan banyak haditsnya dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya akan tetapi ada kalanya perawi yang tsiqoh bisa salah dalam meriwayatkan hadits, termasuk hadits ini karena Al-‘Ala’ telah bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini sehingga Imam Muslim tidak mengeluarkannya di dalam Shahihnya sebagaimana yang dipahami oleh Imam Al-Hakim dalam Makhroj ‘Ilal Iklil.
Walaupun memang tidak semua hadits yang tidak dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya adalah hadits dho’if, akan tetapi dalam hal ini ada penguat yang menunjukan hadits ini bermasalah karena telah banyak para ulama ‘ilal hadits yang mengingkari hadits ini, terlebih seperti AbdurRahman bin Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Dawud dan ulama ‘ilal yang lainnya.
Keempat: Kalaupun hadits tersebut dianggap shahih maka penjelasannya sebagai berikut, Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata,
بسم الله والحمد لله وبعد :
فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم شعبان كله وربما صامه إلا قليلاً ، كما ثبت ذلك من حديث عائشة وأم سلمة . أما الحديث الذي فيه النهي عن الصوم بعد انتصاف شعبان فهو صحيح كما قال الأخ العلامة الشيخ ناصر الدين الألباني ، والمراد به النهي عن ابتداء الصوم بعد النصف ، أما من صام أكثر الشهر أو الشهر كله فقد أصاب السنة . والله ولي التوفيق 
Bismillah walhamdulillaah wa ba’adu; Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban sebulan penuh dan kadang-kadang hampir semuanya sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah. Adapun hadits yang melarang berpuasa stelah pertengahan Sya’ban adalah shahih sebagaimana dikatakan Al-Akh Al-‘Allamah Asy-Syaikh Nasiruddin Al-Albani, maksudnya adalah larangan memulai puasa Sya’ban setelah lewat pertengahan bulan, adapun berpuasa kebanyakan bulan atau sebulan penuh maka dia telah melaksanakan sunnah. Wallaahu Walliyut taufiq.
Dan Berkata Imam Al-Qurtbi di Al-Mufhim,
ويرتفع ما يتوهم من المعارضة، بأن يحمل النهي على من لم تكن له عادة بصوم شيء من شعبان، فيصومه لأجل رمضان، وأما من كانت له عادة أن يصوم، فليستمر على عادته. وقد جاء هذا أيضاً في بقية الخبر؛ فإنه قال: “إلا أن يكون أحدكم يصوم صوماً، فليصمه”، كما تقدم
“Terangkat persangkaan adanya pertentangan dengan dibawakan larangan bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa Sya’ban, lalu dia berpuasa karena Ramadhan. Adapun orang yang punya kebiasaan berpuasa maka hendaklah dia lanjutkan puasanya.”
Demikian juga dipahami oleh Ibnul Qoyyim dalam Tahzibus Sunan dan Imam Syaukani diNail Awthor.
Kelima: Ketika dikatakan disunnahkan puasa Sya’ban sebulan penuh atau kebanyakannya, bagaimana dengan hadits, “Janganlah mendahului Ramadhan dengan berpuasa sebelumnya satu atau dua hari.”
Jawabannya, hadits tersebut ada kelanjutannya, “Kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa maka hendaklah dia berpuasa.”
Hadits tersebut jelas sekali menunjukkan tentang bolehnya mendahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kalau seseorang memiliki kebiasaan puasa sunnah seperti puasa Daud, puasa Senin Kamis, puasa Sya’ban dan puasa sunnah yang lain. Termasuk juga apabila seseorang punya hutang puasa Ramadhan ataupun nazar sebagaimana disebutkan dalam Fathul Baari dan yang lainnya.
Berkata Ibnu Rajab di Lathooiful Ma’arif,
فقال كثير من العلماء كأبي عبيد ومن تابعه كالخطابي وأكثر شراح الحديث: أن هذا الرجل الذي سأله النبي صلى الله عليه وسلم كان يعلم أن له عادة بصيامه أو كان قد نذره فلذلك أمره بقضائه
“Berkata banyak ulama seperti Abu ‘Ubaid dan orang yang mengikutinya seperti Al-Khotthobi dan kebanyakan para pensyarah hadits, bahwa orang yang bertanya kepada nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam telah mengetahui kalau dia punya kebiasaan berpuasa atau puasa nazar , oleh karena itu beliau perintahkan untuk diqodho’.”
Sebagaimana dinukil Ibnu Rajab dari Imam Syafii,
قد ذكر الشافعي في كتاب مختلف الحديث احتمالا في معنى قوله: “إلا من كان يصوم صوما فليصمه” وفي رواية: “إلا أن يوافق ذلك صوما كان يصومه أحدكم” أن المراد بموافقة العادة صيامه على عادة الناس في التطوع بالصيام دون صيامه بنية الرمضانية للاحتياط
“Disebutkan oleh Imam Syafii di kitab Mukhtalaful Hadits tentang kemungkinan makna hadits, “Kecuali orang yang biasa berpuasa hendaklah dia berpuasa (sesuai dengan kebiasaanya”. Dalam sebagian riwayat, “Kecuali bertepatan dengan puasa (kebiasaannya)”. bahwa maksudnya bertepatan  kebiasaan puasanya seperti kebiasaan orang dalam puasa sunnah bukan puasa dengan niat hati-hati karena ramadhan.”
Keenam: Kalau begitu apa maksud dari hadits jangan mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya?
Jawabannya, disebutkan di dalam Fathul Baari,
 قال العلماء : معنى الحديث : لا تستقبلوا رمضان بصيام على نية الاحتياط لرمضان . قال الترمذي لما أخرجه : العمل على هذا عند أهل العلم ، كرهوا أن يتعجل الرجل بصيام قبل دخول رمضان لمعنى رمضان ا هـ . 
“Berkata para ulama: Makna hadits adalah janganlah mendahului puasa Ramadhan dengan niat hati-hati masuk Ramadhan. Berkata Imam Tirmidzi ketika mengeluarkan hadits ini: Amal ulama seperti ini adanya, mereka membenci orang yang tergesa-gesa berpuasa sebelum masuk Ramadhan karena makna Ramadhan.”
Berkata Al-Hafiz Ibnu Hajar,
وفي الحديث رد على من يرى تقديم الصوم على الرؤية كالرافضة
“Dalam hadits tersebut ada bantahan bagi orang yang mendahulukan Ramadhan sebelum ru’yah seperti Syi’ah Rhafidoh.”
Ketujuh: Bagaimana dengan riwayat dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu, “Siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (masuk tidaknya Ramadhan) maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).”
Yang dimaksud yaumus syak (hari yang diragukan, masuk tidaknya Ramadhan) telah disebutkan oleh Ibnu Muflih di Mubdi’ Syarah Muqni,
وَهُوَ يَوْمُ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي السَّمَاءِ عِلَّةٌ، وَلَمْ يَتَرَاءَ النَّاسُ الْهِلَالَ، وَقَالَ الْقَاضِي وَالْأَكْثَرُ: أَوْ شَهِدَ بِهِ مَنْ رُدَّتْ شَهَادَتُهُ، قَالَ: أَوْ كَانَ فِي السَّمَاءِ عِلَّةٌ
“Maksudnya adalah hari ketiga puluh dari bulan Sya’ban kalau di langit tidak ada penghalang (seperti mendung, pen) dan orang-orang tidak melihat hilal, dan berkata Al-Qodhi, dan mayoritas (manusia tidak melihatnya), atau telah bersaksi orang yang tertolak persaksiannya, dia berkata atau ketika di langit ada penghalang.”
Berkata Syaikh Ibnu ‘Uthaimin di Syarah Mumti’,
قوله: «والشك» أي: يكره صوم يوم الشك، ويوم الشك هو ليلة الثلاثين من شعبان، إذا كان في السماء ما يمنع رؤية الهلال كغيم وقتر
Yaumus syak adalah malam tiga puluh bulan Sya’ban bila di langit ada penghalang untuk melihat hilal seperti awan atau kabut.”
Kemudian beliau menguatkan hal tersebut. Dan menegaskan bahwa puasa yaumus syakadalah haram kalau dimaksudkan dengannya untuk hati-hati masuk Ramadhan.
Kesimpulan: Adalah haram untuk berpuasa yaumus syak yaitu hari ke 30 Sya’ban (apabila masih ragu hari tersebut masuk Ramadhan atau belum) dengan bermaksud untuk hati-hati masuk Ramadhan. Dan sebagaimana penjelasan kelima dan keenam adalah tidak mengapa seseorang untuk berpuasa pada hari tersebut bila bertepatan dengan kebiasaanya berpuasa sunnah, demikian juga puasa nazar ataupun qodho. Sebagaimana juga disebutkan dalam hadits yang lalu dari Abu Hurairoh dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لا يتقدمنَّ أحدكم رمضان لصوم يوم أو يومين ؛ إلا أن يكون رجل كان يصوم صومه ؛ فليصم ذلك اليوم
“Janganlah mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu hari atau dua hari sebelumnya kecuali bila dia berpuasa (kebiasaannya) hendaklah dia berpuasa.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Demikian juga dengan hadits Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anha yang lalu sebagian riwayatnya menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyambung sya’ban dengan Ramadhan dengan tidak memberi jeda satu haripun.
عن أم سلمة رضي الله عنها قالت : ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صام شهرين متتابعين إلا أنه كان يصل شعبان برمضان
ولفظ أبي داود : أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يصوم من السنة شهرا تاما إلا شعبان يصله برمضان
“Dari Ummu Salamah radhiyallaahu’anha, beliau berkata:
Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali beliau menyambung Sya’ban dengan Ramadhan.” [HR. Ahmad, Abu Daud dan lainnya]
Dalam riwayat Abu Dawud: “Tidak pernah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa satu bulan penuh kecuali sya’ban beliau menyambungnya dengan ramadhan”.[Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Daud: 2048]
Kedelapan: Bagaimana dengan hadits ‘Imron bin Husain,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له أو لآخر أصمت من سرر شعبان قال لا قال فإذا أفطرت فصم يومين
“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata kepadanya atau yang lainnya: Apakah engkau berpuasa di akhir Sya’ban? Beliau menjawab: Tidak, lalu beliau berkata: “Kalau begitu berpuasalah dua hari.” [HR. Muslim]
Selintas hadits tersebut juga bertentangan dengan hadits yang melarang mendahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari. Maka berkata Imam Nawawi ketika mensyarah hadits tersebut,
يقال : هذا الحديث مخالف للأحاديث الصحيحة في النهي عن تقديم رمضان بصوم يوم ويومين ، ويجاب عنه بما أجاب المازري وغيره ، وهو أن هذا الرجل كان معتاد الصيام آخر الشهر أو نذره فتركه بخوفه من الدخول في النهي عن تقدم رمضان ، فبين له النبي صلى الله عليه وسلم أن الصوم المعتاد لا يدخل في النهي ، وإنما ننهى عن غير المعتاد . والله أعلم
“Dikatakan bahwa hadits ini menyelisihi hadits-hadits yang shahih tentang larangan mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, maka dijawab dengan apa yang telah dikatakan oleh Al-Maziri dan yang lainnya, yaitu orang ini mempunyai kebiasaan berpuasa (sampai) akhir bulan (Sya’ban) atau telah bernazar lalu dia tinggalkan karena kawatir masuk kedalam larangan mendahului Ramadhan, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa puasa yang sudah menjadi kebiasaan tidak termasuk ke dalam larangan akan tetapi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang yang tidak menjadi kebiasaannya. Wallahu A’lam.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Sumber:
Website: 








Larangan Mengacungkan Senjata Kepada Sesama Muslim:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
LARANGAN MENGACUNGKAN SENJATA KEPADA SESAMA MUSLIM;


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ، حَتَّى يَدَعَهُ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ

"Siapa yang mengacungkan besi kepada saudaranya, malaikat melaknatnya sampai ia tinggalkan perbuatan tersebut, walau kepada saudara kandungnya." [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]


 وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Sumber;  Sofyanruray.








Minggu, 17 Mei 2015

Adakah Amalan Khusus di Bulan Rajab ?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Ayat ttg Bulan Haram
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan dalam kitab Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada 4 bulan yang haram, itulah agama yang lurus, maka janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di bulan-bulan itu.” [At-Taubah: 36]
Hadits ttg Bulan Haram
Empat bulan haram tersebut telah diterangkan dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Tahun itu terdiri dari 12 bulan, diantaranya 4 bulan haram; tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharram. Adapun Rajab yang juga merupakan bulannya kaum Mudhar, berada diantara Jumaada dan Sya’ban.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menunjukkan bahwa Rajab termasuk bulan haram. Dinamakan bulan haram karena Allah ta’ala memberikan penkhususan terhadap bulan ini dengan mengagungkannya melebihi bulan-bulan yang lain, demikian pula dosa dan amal shalih di bulan-bulan ini dilipatgandakan.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس قوله: { إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا } الآية { فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ } في كلِّهن، ثم اختص من ذلك أربعة أشهر فجعلهن حراما، وعَظم حُرُماتهن، وجعل الذنب فيهن أعظم، والعمل الصالح والأجر أعظم.
“Dan berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma: Firman Allah ta’ala,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا
“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan.” [At-Taubah: 36]
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Maka janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di bulan-bulan itu.” [At-Taubah: 36]
Maksudnya adalah pada seluruh bulan diharamkan berbuat zalim, kemudian Allah ta’ala mengkhususkan empat bulan, menjadikannya haram (mulia) dan mengagungkan kemuliaan bulan-bulan tersebut, demikian pula Allah ta’ala menjadikan dosa di bulan-bulan itu lebih besar dan amal shalih serta pahala lebih agung.” [Tafsir Ibnu Katsir, 4/148]
Ini menunjukkan bahwa meningkatkan amal shalih di bulan-bulan ini sangat dianjurkan, akan tetapi amal shalih yang dimaksud di sini adalah amalan-amalan yang biasa kita kerjakan (yang berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah), seperti sholat, puasa, membaca Al-Qur’an, dzikir, do’a, dan lain-lain. Contohnya, sholat tahajjud, sholat dhuha, puasa 3 hari tiap bulan, puasa Senin Kamis, memperbanyak puasa di bulan-bulan haram, dan lain-lain.
Adapun melakukan amalan khusus di waktu-waktu khusus maka membutuhkan dalil, contohnya puasa Arafah tgl. 9 Dzulhijjah, Asyuro’ tgl. 10 Muharram, dan lain-lain, boleh dikhususkan karena adanya dalil yang menunjukkannya. Barangsiapa mengkhususkan suatu amalan tanpa dalil maka berarti ia telah mengada-ada; berbuat bid’ah dalam agama.
• Adakah Puasa Khusus di Bulan Rajab?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وأما صوم رجب بخصوصه فأحاديثه كلها ضعيفة بل موضوعة لا يعتمد أهل العلم على شيء منها وليست من الضعيف الذي يروى في الفضائل بل عامتها من الموضوعات المكذوبات
“Adapun puasa Rajab secara khusus, maka seluruh haditsnya lemah, bahkan palsu, tidak ada seorang ahli ilmu pun yang berpegang dengannya, dan bukan pula termasuk kategori lemah yang boleh diriwayatkan dalam fadhail (keutamaan-keutamaan beramal), bahkan seluruhnya termasuk hadits palsu yang dusta.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/290]
Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
وكل حديث في ذكر صوم رجب وصلاة بعض الليالي فيه فهو كذب مفترى
“Dan semua hadits yang berbicara tentang puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya adalah dusta yang diada-adakan.” [Al-Manaarul Muniif, 96]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لم يرد في فضل شهر رجب ولا في صيامه ولا صيام شيء منه معين ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة
“Tidak ada satu hadits shahih pun yang yang dapat dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, tidak puasanya, tidak pula puasa khusus di hari tertentu dan tidak pula sholat malam di malam yang khusus.” [Tabyinul ‘Ajab, hal. 11]
Maka tidak boleh menyebarkan hadits-hadits palsu tersebut. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, maka siapkan tempat duduknya di neraka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barangsiapa menyampaikan hadits atas namaku padahal dia menyangka bahwa itu adalah dusta maka dia termasuk salah satu pendusta.” [HR. Muslim dari Al-Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu’anhu]
• Hukum Sholat Roghaib
Sebagian orang mengamalkan sholat Roghaib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab sebanyak 12 raka’at di antara Maghrib dan Isya, padahal tidak ada satu pun dalil shahih yang menunjukkan amalan tersebut.
Imam Besar Mazhab Syafi’i, An-Nawawi rahimahullah berkata,
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل ولا يغتر ببعض من اشتبه عليه حكمهما من الائمة فصنف ورقات في استحبابهما فانه غالط في ذلك
“Sholat yang dikenal dengan nama sholat roghoib, yaitu sholat 12 raka’at antara maghrib dan isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, demikian pula sholat malam nishfu Sya’ban sebanyak 100 raka’at, maka dua sholat ini adalah bid’ah yang mungkar lagi jelek.  Dan janganlah tertipu dengan penyebutan dua sholat ini dalam kitab Quthul Qulubdan Ihya ‘Ulumud Diin, dan jangan tertipu dengan hadits (palsu) yang disebutkan pada dua kitab tersebut, karena semua itu batil. Jangan pula tergelincir dengan mengikuti sebagian ulama yang masih tersamar bagi mereka tentang hukum dua sholat ini, sehingga mereka menulis berlembar-lembar kertas tentang sunnahnya dua sholat ini, karena mereka telah salah besar dalam hal tersebut.” [Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/56]
Dalam kitab Asy-Syafi’iyah yang lain, berkata Ad-Dimyathi rahimahullah,
قال المؤلف في إرشاد العباد: ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها ويجب على ولاة الامر منع فاعلها: صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب، وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة، وصلاة آخر جمعة من رمضان سبعة عشر ركعة، بنية قضاء الصلوات الخمس التي لم يقضها، وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر، وصلاة الاسبوع، أما أحاديثها فموضوعة باطلة، ولا تغتر بمن ذكرها. اه
“Berkata penulis dalam kitab Irsyadul Ibad: Dan termasuk bid’ah yang tercela, yang pelakunya berdosa, serta wajib bagi pemerintah untuk mencegah pelakunya adalah:
(1) Sholat raghoib 12 raka’at yang dikerjakan di antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, 
(2) Sholat nisfu Sya’ban 100 raka’at, 
(3) Sholat di Jum’at terakhir Ramadhan sebanyak 17 raka’at dengan niat qodho sholat 5 waktu yang belum ia kerjakan, 
(4) Sholat hari Asyuro 4 raka’at atau lebih, 
(5) Sholat sunnah pekanan.
Adapun hadits-haditsnya palsu lagi batil, dan janganlah tertipu dengan orang yang menyebutkannya –Selesai-.” [Haasyiah I’anatit Thalibin, 1/312]
• Hukum Perayaan Isra’ Mi’raj
Sebagian orang merayakan perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di bulan Rajab, maka perayaan ini mungkar dari beberapa sisi:
Pertama: Bid’ah (mengada-ada) dalam agama, karena tidak ada dalil yang menunjukkannya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami ini apa yang tidak berasal darinya maka ia tertolak.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ammaa ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shallallahu’alaihi wa sallam) dan seburuk-buruk urusan adalah perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu sesat.” [HR. Muslim dari Jabir bin Abdillahradhiyallahu’anhuma]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak (dalam agama), maka wajib bagi kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari ‘Irbadh bin Sariyahradhiyallahu’anhu]
Sahabat yang Mulia Ibnu Umar radhiyallahu’anhu berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةُ وَإِنْ رَآهَا النَّاس حَسَنَة
“Setiap bid’ah itu sesat, meski manusia menganggapnya hasanah (baik).” [Dzammul Kalaam: 276]
Setiap Bid'ah Pasti Sesat
Kedua: Tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, yaitu menyerupai perayaan paskah (kenaikan) Yesus dalam keyakinan Nasrani. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.” [HR. Abu Daud dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Shahih Al-Jaami’: 6149]
Jangan Latah
Ketiga: Berbagai kemungkaran yang terjadi dalam perayaannya seperti;

  • • Ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan wanita,
  • • Lagu-lagu, nyanyian dan musik,
  • • Mengada-adakan dzikir-dzkir dan doa-doa khusus tanpa petunjuk dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
  • • Menyampaikan atau mendengarkan ceramah-ceramah tanpa ilmu, tanpa berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai Pemahaman Salaf, melainkan kisah-kisah dan hadits-hadits palsu,
  • Bahkan yang lebih tragis adalah terlalaikan dari melakukan sholat 5 waktu atau sholat wajib secara berjama’ah, padahal esensi perjalanan Isra’ Mi’raj adalah sholat 5 waktu itu sendiri, maka buktikanlah lebih ramai mana antara sholat 5 waktu berjama’ah di masjid dan perayaan Isra’ Mi’raj.
Keempat: Menyelisihi larangan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap perayaan apa pun selain ‘iedul adha dan ‘iedul fitri. 
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha]
Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ 
“Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari perayaan yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘iedul adha dan ‘iedul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Sunan Abi Daud: 1039]
Hari Raya Tidak Boleh Ditambah
Kelima: Penetapan tanggal terjadinya Isra’ Mi’raj secara dusta. Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
وذكر بعض القصاص أن الإسراء كان في رجب، قال: وذلك كذب
“Dan sebagian tukang dongeng telah menyebutkan bahwa peristiwa Isra’ terjadi di bulan Rajab. Beliau berkata: Dan itu adalah dusta.” [Tabyinul ‘Ajab, hal. 11]

 وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Sumber; fb Sofyanruray