Senin, 30 Juni 2014

Syariat Shalat Tarawih Secara Berjamaah

  بِسْـــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم 


Ada beberapa hadits yang menunjukkan tentang syariat pelaksanaan shalat Tarawih secara berjamaah. 

Di antara hadits-hadits itu adalah sebagai berikut.
Dari Abu Dzar Al-Ghifâry radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئَا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ قَالَ فَقَالَ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِيْنَا أَنْ يَفُوْتَنَا الْفَلَاحُ قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلَاحُ قَالَ السَّحُوْرُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ

“Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berdiri (untuk mengerjakan shalat Lail) bersama kami sedikit pun dari bulan itu, kecuali setelah tujuh hari tersisa, kemudian beliau berdiri (untuk mengimami) kami sampai sepertiga malam berlalu. Lalu, ketika malam keenam (dari malam yang tersisa,-pent.), beliau tidak berdiri (untuk mengimami) kami. Selanjutnya, saat malam kelima (dari malam yang tersisa,-pent.), beliau berdiri (untuk mengimami) kami sampai seperdua malam berlalu. Maka, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, (akan menjadi lebih baik) andaikata engkau menjadikan qiyâm malam ini sebagai nafîlah (ibadah tambahan) untuk kami.’ Beliau pun bersabda, ‘Sesungguhnya seorang lelaki, apabila mengerjakan shalat (Tarawih) bersama imam sampai selesai, ia terhitung mengerjakan qiyâm satu malam.’ Kemudian, ketika malam keempat (dari malam yang tersisa,-pent.), beliau tidak berdiri (untuk mengimami) kami. Lalu, saat malam ketiga (dari malam yang tersisa,-pent.), beliau mengumpulkan keluarganya, para istrinya, dan manusia lain lalu berdiri (untuk mengimami) kami sampai kami khawatir ketinggalan Al-Falâh. Saya –rawi dari Abu Dzar- bertanya, ‘Apakah Al-Falâh itu?’ (Abu Dzar) menjawab, ‘Waktu sahur.’ Selanjutnya, beliau tidak berdiri lagi (untuk mengimami) kami pada sisa bulan.” [1]

Dari Abu Thalhah Nu’aim bin Ziyad, beliau berkata, “Di mimbar Himsh, saya mendengar Nu’man bin Basyir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,

قُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ لَيْلَةَ ثَلَاثَ وَعِشْرِيْنَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ قُمْنَا مَعَهُ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ لَا نُدْرِكَ الْفَلَاحَ وَكَانُوْا يُسَمُّوْنَهُ السَّحُوْرَ

“Kami berdiri (untuk mengerjakan shalat) bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan saat malam kedua puluh tiga sampai sepertiga malam pertama, kemudian berdiri (untuk mengerjakan shalat) bersama beliau pada malam kedua puluh lima sampai seperdua malam, lalu berdiri (untuk mengerjakan shalat) bersama beliau pada malam kedua puluh lima sampai kami menyangka (bahwa kami) tidak mendapati Al-Falâh yang mereka namakan untuk waktu sahur.”.” [2]

Dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَتَحَدَّثُوْنَ بِذَلِكَ فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ فَصَلُّوْا بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَذْكُرُوْنَ ذَلِكَ فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ فَصَلُّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجِزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ رِجَالٌ مِنْهُمْ يَقُوْلُوْنَ الصَّلَاةَ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ تَشَهَّدَ فَقَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجَزُوْا عَنْهَا

“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam keluar pada kegelapan malam, lalu mengerjakan shalat di masjid, maka sekolompok orang mengerjakan shalat (mengikuti pelaksanaan) shalat beliau. Kemudian, pada pagi hari, manusia membicarakan hal tersebut, maka berkumpullah mereka lebih banyak lagi, lalu keluarlah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam (untuk mengerjakan shalat) pada malam kedua, dan mereka pun mengerjakan shalat (mengikuti pelaksanaan) shalat beliau. Pada waktu pagi, manusia kembali menyebut hal tersebut, maka menjadi banyaklah penduduk masjid pada malam ketiga, lalu beliau keluar (untuk mengerjakan shalat), dan mereka mengerjakan shalat (mengikuti pelaksanaan) shalat beliau. Pada malam keempat, masjid sudah tidak mampu (memuat) jamaahnya, dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun tidak keluar untuk (mengimami) mereka, maka sekelompok orang dari mereka berteriak, ‘Shalat!’ Tetapi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak keluar untuk (mengimami) mereka sampai beliau keluar untuk mengerjakan shalat Shubuh. Tatkala menyelesaikan (shalat) Shubuh, beliau menghadap ke arah manusia kemudian bertasyahhud, lalu berkata, ‘Amma Ba’du, sesungguhnya, tidaklah keadaan kalian pada malam ini luput terhadapku, tetapi aku khawatir (jika) shalat Lail akan diwajibkan atas kalian kemudian kalian pun lemah melaksanakannya.’.” [3]

Dari hadits ini, telah diketahui sebab yang menjadikan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan tidak dikerjakan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam terus menerus, yaitu karena kekhawatiran beliau jika shalat tersebut diwajibkan atas umatnya sehingga memberatkan mereka. Namun, kekhawatiran ini telah lenyap setelah beliau wafat dan agama telah sempurna. Oleh karena itu, sunnah ini dihidupkan oleh ‘Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anhu.

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abd Al-Qâry, beliau berkata,

خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمَوْنَ -يُرِيْدُ آخَرَ اللَّيْلِ- وَكَانَ النَّاسُ يُقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ

“Saya keluar bersama ‘Umar bin Khaththâb radhiyallâhu ‘anhu menuju ke masjid pada suatu malam pada Ramadhan, dan (kami mendapati bahwa) ternyata manusia (mengerjakan shalat secara) terbagi-bagi dan berpisah-pisah. Seseorang mengerjakan shalat secara sendirian, sementara orang lain mengerjakan shalat dan sekelompok orang (mengikuti pelaksanaan) shalatnya. Maka, ‘Umar berkata, ‘Saya berpandangan bahwa, andaikata saya mengumpulkan mereka pada satu qari (imam), hal itu lebih tepat.’ Lalu, beliau berazam dan mengumpulkan mereka kepada Ubay bin Ka’ab. Kemudian, saya keluar bersama beliau pada malam lain dan (kami mendapati bahwa) manusia sedang mengerjakan shalat (mengikuti pelaksanaan) shalat qari mereka, maka ‘Umar berkata, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini, dan orang yang tidur dari hal ini lebih baik daripada orang yang menegakkannya.’ Yang beliau inginkan adalah bahwa orang-orang mengerjakan shalat pada akhir malam, padahal manusia menegakkannya pada awal malam.” [4]

Dalam ucapan “sebaik-baik bid’ah adalah ini”, Bid’ah yang ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu maksud adalah bid’ah secara bahasa karena beliau-lah yang pertama kali menghidupkan sunnah ini setelah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memberikan dasar tuntunan sunnah tersebut pada masa hidup Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. 
Wallâhu A’lam.

Dalam Qiyâm Ramadhân hal. 21-22, Syaikh Al-Albâny berkata,

“Dan para perempuan disyariatkan untuk menghadirinya (jamaah Tarawih,-pent.) sebagaimana dalam hadits Abu Dzar yang telah berlalu, dan telah tsâbit ‘tetap, sah’ dari ‘Umar bahwa, tatkala mengumpulkan manusia untuk qiyâm, beliau menjadikan Ubay bin Ka’ab (sebagai imam) untuk (jamaah) laki-laki dan Sulaiman bin Abi Hatsmah (sebagai imam) untuk para perempuan. Dari ‘Arfajah Ats-Tsaqafy, beliau berkata, ‘Adalah ‘Ali bin Abi Thalib memerintah manusia untuk mengerjakan qiyâm Ramadhan, dan beliau menjadikan seorang imam untuk laki-laki dan seorang imam untuk perempuan.’ (‘Arfajah) berkata, ‘Saya adalah imam para perempuan.’

Saya berkata, ‘Menurutku, keadaan ini (dapat diterapkan) bila masjid tersebut luas sehingga salah satu dari keduanya tidak mengganggu yang lain.’.” [5]

Syariat Shalat Tarawih Hanya pada Bulan Ramadhan

Perlu diketahui bahwa shalat Tarawih ini hanya dikerjakan pada bulan Ramadhan berdasarkan keterangan ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ [6]

 bahwa shalat Tarawih secara berjamaah ini dilakukan oleh beliau pada bulan Ramadhan. Bertolak dari sini, tampaklah kesalahan sebagian orang yang sering melaksanakan qiyamul lail secara berjamaah di luar Ramadhan. Memang, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam kadang mengerjakan qiyamul lail secara berjamaah di rumahnya bersama Ibnu ‘Abbas, pernah bersama Ibnu Mas’ud, dan pernah pula bersama Hudzaifah. Namun, beliau tidak mengerjakan hal tersebut terus menerus dan tidak pula mengerjakannya di masjid. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengerjakan qiyamul lail secara berjamaah di luar Ramadhan secara terus menerus atau mengerjakannya di masjid, tidak diragukan bahwa perbuatannya termasuk perkara bid’ah yang tercela. Demikian keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. [7]

[1] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzâq 4/254, Ibnu Abi Syaibah 2/164, Ahmad 5/159, 163, Ad-Dârimy 2/42, Ibnul Jârûd no. 403, Abu Dâud no. 1375, At-Tirmidzy no. 805, An-Nasâ`iy 3/83, Ibnu Mâjah no. 1327, Ibnu Abid Dunyâ dalam At-Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 402, Ath-Thahâwy dalam Syarh Ma’âni Al-Atsâr 2/349, Ibnu Khuzaimah no. 2206, Ibnu Hibbân no. 2547, Al-Baihaqy 2/494 dan dalam Syu’abul Îmân 3/178-179, dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 8/112. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam Irwâ`ul Ghalîl 2/193/447, dan Syaikh Muqbil, dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahîh 2/175.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/164, Ahmad 4/272, An-Nasâ`iy 3/203, Ibnu Khuzaimah 3/336/2204, Al-Hâkim 1/607, Ath-Thabarâny dalam Musnad Asy-Syâmiyin no. 2963, Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 8/112-113, dan Al-Mizzy dalam Tahdzîbul Kamâl pada biografi Abu Thalhah Nu’aim bin Ziyad. Dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahîh 2/174.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 729, 924, 1129, 2012, Muslim no. 761 (lafazh hadits milik beliau), dan Abu Dâud no. 1373.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2010.
[5] Dari Qiyâmu Ramadhân hal. 21-22.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 1129, 2011, Muslim no. 761, Abu Dâud no. 1373, dan An-Nasâ`iy 3/202.
[7] Bacalah Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/82-83.


Sumber: dzulqarnain.net

Jumat, 27 Juni 2014

Bagaimana Kita Bersepakat Menentukan Satu Ramadhan


 بِسْـــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم 
Bagaimana Kita Bersepakat Menentukan  Satu  Ramadhan
Termasuk keunikan negeri kita ini, Indonesia, yang mungkin tidak terjadi pada negeri-negeri lain, terjadinya silang pendapat dalam penentuan hari-hari penting umat Islam. Yang lebih disayangkan adalah bahwa silang pendapat ini hampir terjadi setiap tahun belakangan ini. Semoga hal tersebut tidak terjadi pada Ramadhan Mendatang.

Berikut beberapa nasihat dan pijakan agar tidak terjadi silang pendapat seputar masuknya bulan Ramadhan dan hari penting umat Islam lainnya.

Pertama, dalam Islam, penentuan masuknya bulan Ramadhan dan bulan lainnya hanyalah dikenal dengan cara melihat hilal atau menggenapkan bulan menjadi tiga puluh hari pada saat hilal tidak terlihat.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“… Maka, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa ….” [Al-Baqarah: 185]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ

“Berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut, dan ber­bukalah kalian karena melihat (hilal) tersebut. Lalu, apabila tertutupi dari (pandangan) kalian, sempurnakanlah bulan (Sya’ban) itu menjadi tiga puluh (hari).”[1]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ «وَالشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ

“Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu begini, begini, dan begini -seraya beliau melipat ibu jarinya pada kali ketiga (yakni dua puluh sembilan hari)-. Bulan itu begini, begini dan begini -yakni tiga puluh hari secara sempurna -.”[2]

Dari dua hadits di atas -dan banyak lagi hadits lainnya- dapat diketahui bahwa, dalam Islam, jumlah hari dalam sebulan hanyalah dua puluh sembilan atau tiga puluh hari. Tidaklah dikenal bahwa bulan Islam berakhir dengan tanggal 28 atau 31.

Dari ayat dan hadits-hadits di atas, kita bisa mengetahui secara pasti bahwa penentuan masuknya bulan dalam Islam hanyalah dengan dua cara:
  • 1. Rukyat hilal, yaitu penampakan hilal setelah matahari terbenam pada tanggal 29.
  • 2. Ikmâl ‘penyempurnaan’, yaitu menyempurnakan bulan menjadi tiga puluh hari di kala hilal tidak terlihat pada tanggal 29 setelah matahari terbenam.
Ibnu Hubairah berkata, “(Para ulama) bersepakat bahwa puasa Ramadhan menjadi wajib dengan rukyat hilal atau meng-ikmâl Sya’ban menjadi tiga puluh hari ketika tidak ada rukyat, sedang mathla’ (tempat terbit hilal) kosong dari penghalang untuk melihat.”[3]
Demikian pula dinukil kesepakatan oleh Ibnul Mundzir sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar[4].

Kedua, penentuan masuknya bulan dengan ilmu hisab atau ilmu falak adalah hal yang tidak dikenal dalam Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya kita mengetahui secara aksioma dalam agama Islam bahwa dalam rukyat hilal puasa, haji, iddah, îlâ`, dan selainnya berupa hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, beramal (padanya) dengan menggunakan berita ahli hisab -bahwa hilal dilihat atau belum- adalah tidak boleh. Nash-nash mustafîdhah (masyhur dan sangat banyak) dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut sangatlah banyak.

Kaum muslimin telah bersepakat tentang (ketidakbolehan penggunaan berita ahli hisab) tersebut. Sama sekali tidaklah diketahui ada silang pendapat dalam hal tersebut – baik dahulu maupun belakangan-, kecuali sebagian orang-orang belakangan setelah abad ke-3 yang senang dengan ilmu fiqih. (Orang tersebut) menyangka bahwa ahli hisab boleh beramal dengan hisab untuk dirinya sendiri jika hisabnya menunjukkan rukyat. Bila tidak menunjukkan, hal tersebut tidak diperbolehkan. Pendapat ini -walaupun terbatas pada keadaan mendung dan terkhusus bagi si ahli hisab itu sendiri- adalah pendapat yang syâdz ‘aneh, ganjil’, telah diselisihi oleh ijma’ (kesepakatan ulama) sebelumnya. Adapun mengikuti (ilmu hisab) tersebut dalam keadaan (cuaca) tidak berawan atau memakai (ilmu hisab) sebagai hukum umum pada segala keadaan, hal tersebut tidaklah diucapkan oleh seorang muslim pun.”[5]

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa kerusakan penggunaan ilmu hisab dalam penentuan masuknya Ramadhan bisa disimpulkan pada empat perkara:
  • 1. Menyalahi ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa masuknya bulan hanyalah dengan dua cara: rukyat hilal dan ikmâl.
  • 2. Membuang jalan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam penentuan masuknya bulan dengan memakai ilmu hisab sebagai pengganti (jalan) tersebut.
  • 3. Menentang jalan dan kesepakatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang tidak pernah menggunakan ilmu hisab.
  • 4. Menyelisihi kesepakatan ulama yang telah diterangkan oleh Ibnu Taimiyah [6], Ibnu ‘Abdil Barr [7], dan selainnya.
Hendaknya orang-orang yang mengumpulkan empat kerusakan di atas bersiap untuk menuai ancaman Allah ‘Azza wa Jalla
Sebagaimana dalam firman-Nya,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul, sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dia kuasai itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, sedang Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisâ`: 115]

Namun, kami perlu mengingatkan bahwa keterangan di atas tidak menunjukkan akan keharaman penggunaan ilmu hisab dalam hal yang diperbolehkan. Kami hanya menegaskan kesalahan orang-orang yang menggunakan ilmu hisab sebagai penentu final masuknya bulan, atau semata berdasar pada ilmu hisab dalam menentukan masuknya bulan.

Ketiga, hilal adalah bulan sabit kecil yang muncul pada awal bulan.

Orang Arab menyebut bulan sabit kecil pada malam pertama, kedua, dan ketiga dengan nama hilal. Adapun bulan yang muncul pada malam keempat dan seterusnya, orang Arab menyebutnya dengan nama qamar (bulan).[8]

Hilal, yang dianggap sebagai tanda awal bulan, adalah bulan sabit kecil yang tampak setelah matahari terbenam. Telah datang sejumlah atsar dari para shahabat yang menunjukkan bahwa hilal yang teranggap sebagai awal bulan adalah yang terlihat setelah matahari terbenam [9]. Bahkan, Ibnu Hazm menukil kesepakatan ulama tentang hal tersebut [10].
Dari penjelasan di atas, bisa diketahui dua kesalahan yang sering terjadi:
  • 1. Menganggap bahwa hilal mungkin terlihat sebelum matahari terbenam.  Anggapan tersebut telah kita jumpai pada kejadian Kamis sore kemarin, 19 Juli 2012, yaitu bahwa seseorang orang menganggap telah melihat hilal pada pukul 17:53, padahal waktu Maghrib di wilayah tersebut masih beberapa menit lagi setelah itu.
  • 2. Pembatasan bahwa tinggi hilal ketika dilihat hanya sah bila berada pada dua derajat atau lebih.  Ini adalah pembatasan yang tidak benar karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberi tuntunan dengan hitungan ketinggian dua derajat, tetapi beliau memberi tuntunan umum bagi siapa saja yang melihat hilal, yakni pada ketinggian berapapun setelah matahari terbenam.
Keempat, penentuan masuknya bulan adalah wewenang pemerintah (Ulil Amri).
Imam Ibnu Jamâ’ah Asy-Syâfi’iy menjelaskan beberapa wewenang pemerintah, yang merupakan kewajibannya kepada rakyat. Di antaranya adalah, “Wewenang Ketiga: penegakan simbol-simbol Islam, seperti shalat-shalat wajib, shalat Jum’at, shalat berjamaah, adzan, iqamah, khutbah, dan keimaman. Juga mengawasi urusan puasa, berbuka, hilal, haji ke Baitullah, dan umrah. Juga memperhatikan hari-hari Id ….”[11]

Oleh karena itu, saat pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1435 H jatuh pada Sabtu, 28 Juni 2014 karena melihat hilal, atau menetapkan hari Ahad 29 Juni 2014 karena menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari, berarti putusan tersebut telah benar dan telah berdasarkan petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam penentuan masuknya bulan.

Kewajiban kita, selama pemerintah tidak memerintah dalam hal yang mungkar, adalah taat kepada mereka dalam hal yang ma’ruf.
 Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, serta taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” [An-Nisâ`: 59]
Dari ‘Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا، وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا، وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحاً عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.

“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memanggil kami, lalu kami membaiat beliau, dan di antara (janji) yang beliau ambil atas kami adalah, ‘Kami berbaiat untuk mendengar dan menaati (pemimpin) dalam keadaan semangat dan terpaksa, serta dalam keadaan mudah dan susah, meski terjadi pementingan hak pribadi terhadap kami, serta kami tidak boleh menggugat perkara itu dari pemiliknya, kecuali bila kalian melihat kekufuran yang sangat nyata, yang kalian memiliki argumen tentang (kekufuran) itu di sisi Allah.’.”[12]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِسْمَعْ وَأَطِعْ فِيْ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ، وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ، وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ، وَإِنْ أَكَلُوْا مَالَكَ، وَضَرَبُوْا ظَهْرَكَ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ مَعْصِيَةً.

“Dengar dan taatlah pada waktu susah dan mudah serta dalam keadaan bersemangat dan terpaksa, meski terjadi pementingan hak pribadi terhadapmu, juga walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu, kecuali jika hal tersebut merupakan suatu maksiat.”[13]

Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas sangatlah banyak.

Kelima, terjadi silang pendapat di kalangan ulama bahwa, bila hilal telah terlihat pada suatu negeri, apakah rukyat hilal tersebut berlaku juga untuk penduduk negeri yang lain?
Terdapat silang pendapat di kalangan ulama baik terdahulu maupun belakangan- tentang hal tersebut. Walaupun pendapat yang menyatakan rukyat hilal tersebut berlaku untuk seluruh negeri itu lebih kuat, hal tersebut lebih berlaku tatkala seluruh kaum muslimin dipimpin oleh seorang pemimpin atau pada keadaan-keadaan tertentu.
Adapun keberadaan pemerintah kita yang telah menetapkan masuknya Ramadhan berdasarkan rukyat hilal dan telah diikuti oleh kebanyakan manusia, tidak ada alasan bagi rakyat untuk menyelisihi ketetapan tersebut. 
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa itu adalah hari kalian berpuasa. Berbuka itu adalah hari kalian berbuka. Adh-hâ itu adalah hari kalian ber-udh-hiyah.”[14]

Setelah meriwayatkan hadits di atas, Imam At-Tirmidzy berkata, “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan perkataannya, ‘Sesungguhnya maknanya adalah bahwa berpuasa dan berbuka itu (dilaksanakan) bersama jamaah dan kebanyakan manusia.’.”

Pada akhir makalah ini, kami mengingatkan kaum muslimin akan etika dan adab agung dari para ulama dalam hal berbeda pendapat.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallâhu ‘anhu, beliau mengerjakan shalat di Mina secara sempurna tanpa mengqashar. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu berbeda pendapat dengan Utsman seraya berargumen bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta Abu Bakr dan Umar radhiyallâhu ‘anhumâ mengerjakan shalat dengan qashar. Namun, ketika Utsman mengimami shalat, Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu -yang bermakmum kepada Utsman- ikut mengerjakan shalat secara sempurna bersama Utsman.
Ketika hal tersebut ditanyakan kepada Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, 
Beliau Menjawab,

الْخِلَافُ شَرٌّ

“Perbedaan pendapat adalah kejelekan.”[15]
Juga perhatikanlah bagaimana Ali bin Abi Thalib melaksanakan haji Qiran karena diperintah oleh Utsman bin Affan, padahal Ali sendiri berpendapat dengan haji Tamattu’[16].

Semoga Allah menyatukan kaum muslimin di atas Al-Qur`an dan Sunnah, serta menghindarkan mereka dari segala sebab perselisihan dan perpecahan.
 آمين  
  • [01] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
  • [02] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ.
  • [03] Al-Ifshâh 4/89 dengan perantara makalah Al-Hisâb Al-Falaky fî Dhuhûl Ramadhân wa Khuhûjihi Qaulun Syâdzun Muthrah karya Dr. Abdul Aziz Ar-Rayyis.
  • [04] Fath Al-Bâry 4/123.
  • [05] Majmû Al-Fatâwâ 25/132-133.
  • [06] Sebagaimana yang telah berlalu.
  • [07] At-Tamhîd 14/352.
  • [08] Ash-Shihâh 4/1851 dan Al-I’lâm 5/172 karya Ibnul Mulaqqin.
  • [09] Bacalah atsar-atsar shahabat tersebut dalam buku Ma’rifah Auqâth Al-‘Ibâdât 2/12-13, 16 karya Khalid Al-Musyaiqîh.
  • [10] Al-Muhallâ 6/239.
  • [11] Tahrîr Al-Ahkâm Fî Tadbîr Ahl Al-Islâm hal. 66.
  • [12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim.
  • [13] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân dari Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu ‘anhu.
  • [14] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. Dikuatkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahîhah no. 224 dan dalam Irwâ`ul Ghalîl 4/13.
  • [15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahîh Sunan Abi Dawûd.
  • [16] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim.

Rabu, 25 Juni 2014

Perbekalan di Bulan Ramadhan


بِسْـــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم  
●═══════════════●
Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Fauzan Al-Kutawy

Kedatangan bulan ramadhan adalah sesuatu yang dinantikan oleh segenap kaum muslimin di penjuru dunia dan kegembiraan bagi mereka.
Rasulullah   bersabda:

قد جاءكم رمضان شهر مبارك افترض الله عليكم صيامه تفتح فيه أبواب الجنة ويغلق فيه أبواب الجحيم وتغل فيه الشياطين فيه ليلة خير من ألف شهر من حرم خيرها فقد حرم

“Sungguh telah datang kepada kalian ramadhan bulan yang penuh berkah, Allah mewajibkan terhadap kalian puasa padanya, dibukalah pada bulan tsb pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta dibelenggulah para syaithan, padanya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang diharamkan dari kebaikannya maka sungguh telah diharamkan”.
Hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- riwayat Ahmad dlm Musnadnya (8991)

Demikianlah kedatangan ramadhan yang Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- menjanjikan berbagai macam kebaikan didalamnya bagi orang-orang yang memanfaatkan bulan tersebut dengan berbagai macam amalan kebaikan dan ibadah kepada Allah -Subhanahu Wa Ta’ala-.

Namun sebaliknya pula, sungguh Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- telah memberitakan kepada kita bahwa akan ada diantara manusia yang akan celaka dan binasa bersamaan dengan keberadaannya dibulan ramadhan tersebut.

Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
Bahwasanya Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- naik keatas mimbar, lalu berkata:
Aamiin (kabulkanlah), Aamiin, Aamiin.
Maka para sahabat bertanya:
Wahai Rasulullah, Apakah yang engkau aamiin kan??
Maka beliau bersabda:
Jibril telah mendatangiku lalu berkata:

رغم أنف امرء جاءه رمضان فلم يغفر له

“Kecelakaanlah bagi seseorang yang datang kepadanya ramadhan lalu berlalu darinya sedangkan dosa-dosanya tidak terampuni”.
Katakanlah wahai Muhammad “Aamiin“, maka akupun mengucapkannya”.
HR. Muslim (2551)

Ternyata adapula orang yang sengsara dengan keberadaannya dibulan penuh berkah ini!!
Ternyata adapula orang yang celaka dengan ramadhannya!!
Ternyata adapula orang yang binasa dibulan mulia ini!!

Oleh sebab itulah hendaklah setiap muslim mempersiapkan sebaik-baiknya perbekalan yang dengannya ia melewati ramadhan mubarokah ini, sehingga ia bisa meraih keberuntungan yang besar yang telah dijanjikan oleh Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- dan agar tidak menjadikan ramadhan yang ia lewati sebagai waktu yang sia-sia dan kebinasaan baginya.

Diantara perbekalan dibulan ramadhan yang seharusnya dimiliki seorang muslim adalah sbb:

BEKAL PERTAMA:
KEIMANAN KEPADA ALLAH
Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- berfirman:

يآ أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (البقرة؛ ١٨٣)

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. QS. Al Baqarah; 183.

Dalam ayat yang mulia ini Allah -Tabaraka Wa Ta’ala- menyeru orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang telah memiliki bekal keimanan didalam hati mereka, sehingga merekapun diperintahkan untuk berpuasa dengan dasar keimanan tersebut.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata:
Rasulullah bersabda:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berpuasa ramadhan dengan dasar keimanan dan mengharap pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. HR. Muslim

Hadits ini menunjukkan bahwa keutamaan berpuasa itu hanyalah bagi orang-orang yang melakukannya dengan dasar keimanan didalam hatinya.

BEKAL KE-DUA:
KETAKWAAN
Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- berfirman:

وتزودوا فإن خير الزاد التقوى (البقرة؛١٩٧)

“Berbekallah kalian, maka sebaik-baik perbekalan adalah ketakwaan”. QS. Al Baqarah; 197.

Maka setiap muslim seharusnya membekali dirinya dengan ketakwaan diperjalanannya menuju keridhaan Allah -azza wa jalla- dan surga-Nya.
Dan ketakwaan kepada Allah adalah dengan cara menjalankan perintah Allah diatas petunjuk-Nya dan meninggalkan seluruh perkara yang dilarang oleh Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- dengan mengharapkan pahala dan takut terhadap siksa-Nya.

Seorang yang berpuasa namun tidak didasari ketakwaan kepada Allah -azza wa jalla- hanyalah akan mendapatkan letih dan dahaga semata dengan puasanya tersebut.
Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidaklah butuh untuk dia meninggalkan makan dan minumnya”.
Dan Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- berfirman:

إنما يتقبل الله من المتقين

“Sesungguhnya Allah hanya akan menerima dari orang-orang yang bertakwa”.

BEKAL KE-TIGA:
I  L  M  U
Yaitu : mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa dan ibadah lainnya dibulan ramadhan tersebut, dan seorang yang tidak mengetahui hukum-hukum seputar ibadah yang ia akan kerjakan maka dikhawatirkan ia akan terjatuh kepada perkara-perkara yang bisa membatalkan amalan tersebut atau yang mengurangi pahala dan keutamaannya.
Dari Jabir -radhiyallahu ‘anhu- berkata:

Bahwasanya Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- keluar dihari fathu Makkah (pembukaan kota mekkah) pada bulan ramadhan dan beliau dan para sahabatnya dalam keadaan berpuasa hingga sesampainya di Kura’ Ghamiim (nama suatu tempat) maka beliaupun minum sampai para sahabat melihat beliau berbuka, maka setelah itu diberitakanlah kepada beliau bahwa ada sekelompok orang yang tetap berpuasa, 
Maka beliau bersabda:

أولئك العصاة أولئك العصاة

“Mereka itu bermaksiat, mereka itu bermaksiat”. HR. Muslim

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa para sahabat berkerumun melihat keadaan seseorang yang terkapar, 
Maka Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya:
Ada apa dengannya??
Para sahabat menjawab:
Seorang yang berpuasa wahai Rasulullah.
Maka beliau bersabda:

ليس من البر الصيام في السفر

“Bukanlah merupakan suatu kebaikan berpuasa disafar (perjalanan)”.
Lihatlah keadaan orang-orang yang pada waktu itu belum memiliki pemahaman tentang hukum berpuasa ketika safar (perjalanan) yang meletihkan, sehingga mereka beramal dengan sesuatu yang membahayakan diri mereka sendiri dan tidak mendapatkan keutamaan dengan puasanya tersebut.

Wallohul musta’an.

Namun setelah itu Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan ilmu dan pelajaran kepada mereka sehingga setelah itu merekapun beramal dengan pelajaran dan ilmu tersebut.

BEKAL KE-EMPAT:
KESABARAN
Makan, minum dan jima’ adalah perkara yang disenangi seseorang secara fitrohnya, maka tatkala hal tersebut ditahan dari seseorang maka dibutuhkan kesabaran padanya untuk bisa melaksanakan perintah tersebut dengan ikhlas kepada Allah -azza wa jalla-.
Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- berfirman:

يآ أيها الذين آمنوا استعينوا بالصبر والصلاة إن الله مع الصابرين (البقرة؛ ١٥٣)

“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah kalian pertolongan dengan bersabar dan shalat, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang bersabar”. QS. Al Baqarah; 153.

Tanpa kesabaran maka seorang tak akan lolos menghadapi ibadah dibulan ramadhan ini.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- :

Datanglah seorang laki-laki kepada Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata:
Wahai Rasulullah, binasalah aku
Maka Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab:
“Apakah yang menyebabkan engkau binasa??”
Iapun menjawab:
Aku telah melakukan jima’ dengan istriku disiang ramadhan
Maka Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Apakah engkau mampu membebaskan seorang budak??”
Iapun menjawab:  Tidak
Nabi pun bersabda:

“Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut??”
Ia menjawab:  Tidak
Nabi pun bersabda:

“Apakah engkau bisa memberi makan enam puluh orang miskin??”
Iapun menjawab: Tidak
Kemudian Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- duduk dan didatangkanlah sewadah korma kepada Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- 
lalu Beliau bersabda:
“Bersedekahlah dengan ini”
Orang tersebut menjawab:
Apakah ada orang yang lebih fakir daripada kami?? Tidak ada diantara rumah dikampung ini yang lebih butuh daripada kami

Maka Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- tertawa hingga kelihatan gigi taringnya, 
lalu Beliau bersabda:

“Pergilah dan berilah makan keluargamu dengannya”. Muttafaqun ‘alaih.

Hadits ini tentu memberikan pelajaran bagi kita untuk mempersiapkan bekal kesabaran dalam menghadapi amalan dibulan ramadhan, karena jika seorang terlepas dari bentuk kesabaran maka ia terlepas dari kebaikan dan keutamaan amalan tersebut.

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata:
Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
Allah -azza wa jalla- berfirman:

كل عمل ابن آدم يضاعف الحسنة عشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به يدع طعامه وشرابه وشهوته من أجلي

“Setiap amalan anak cucu Adam itu akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa, karena ia untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya, ia telah meninggalkan makanannya, minumannya dan syahwatnya karena Aku”. HR. Muslim

Dalam keterangan ini jelas menunjukkan bahwasanya Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- membalas dan memberikan keutamaan kepada mereka disebabkan kesabaran mereka dalam menahan lapar dan dahaganya karena Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- sehingga merekapun meraih keberuntungan yang sangat besar tersebut.
Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- berfirman:

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

“Sesungguhnya Allah akan memenuhi pahala orang-orang yang bersabar itu dengan tanpa perhitungan”.

BEKAL KELIMA :
KEJUJURAN
Ibadah dibulan ramadhan adalah amalan besar disisi Allah -Subhanahu Wa Ta’ala-, oleh sebab itu dibutuhkan kejujuran dalam pelaksanaannya sehingga kebaikan dan keutamaan ibadah tersebut bisa diraih oleh seseorang, karena kejujuran adalah merupakan pangkal dari seluruh kebaikan dan demikian pula kedustaan adalah pangkal dari seluruh kejelekan.

Dari Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata:
Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق حتى يكتب عند الله صديقا، وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الرجل يكذب حتى يكتب عند الله كذابا

“Hendaklah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu mengantarkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu mengantarkan kesurga, dan terus menerus seorang itu berbuat jujur hingga Allah mencatat disisinya sebagai seorang yang jujur, dan hati-hati kalian dari kedustaan, karena sesungguhnya kedustaan itu mengantarkan kepada kenistaan, dan sesungguhnya kenistaan itu mengantarkan keneraka, dan sesungguhnya seseorang terus menerus berdusta hingga dicatat disisi Allah sebagai seorang pendusta”.  Muttafaqun ‘alaih.

Dan kedustaan juga akan memberikan pengaruh jelek pada ibadah seorang dibulan ramadhan ini.
Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidaklah butuh untuk dia meninggalkan makan dan minumnya”.

BEKAL KE-ENAM:
KESUNGGUHAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa ramadhan adalah bulan ibadah dan bersegera dalam amalan-amalan kebaikan, maka untuk mendapatkan keberhasilan dan keberuntungan dalam menghadapi ramadhan tersebut dibutuhkan usaha dan kesungguhan yang lebih dari hari-hari sebelumnya.

Dan Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- menjanjikan keberhasilan dalam suatu perkara itu dengan kesungguhan dalam menempuhnya.
Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- berfirman:

والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dijalan kami maka Kami akan berikan petunjuk kejalan Kami tersebut”.

Maka marilah kita melihat bagaimanakah amalan hamba termulia yaitu Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- pada bulan ramadhannya.
Dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد في رمضان ما لا يجتهد في غيره

“Adalah Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersungguh-sungguh pada bulan ramadhan dengan kesungguhan yang tidak pernah sebelumnya beliau kerahkan”.  HR. At Tirmidzi
Dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر أحيا الليل وأيقظ أهله وجد وشد المئزر

“Adalah Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- jika memasuki sepuluh terakhir ramadhan beliaupun menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya dan memperkuat ikatan sarungnya”.  HR. Muslim.

Demikianlah kriteria seorang yang berhasil dan beruntung dengan ramadhannya, yaitu dengan mengerahkan kesungguhan dan usaha keras, bukan dengan bersantai-santai atau melakukan amalan-amalan yang sia-sia.

Wallohul musta’an.

Inilah beberapa perbekalan yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslim dalam memasuki bulan ramadhan yang mubarokah ini.
Dan tentunya masih banyak perbekalan-perbekalan yang dibutuhkan oleh seorang muslim dibulan ramadhan ini diantaranya:

BEKAL KE- TUJUH:
MUROQOBATULLAH
(MERASA DIAWASI OLEH الله (ALLAH) )

BEKAL KE- DELAPAN:
IKHLAS

BEKAL KE-SEMBILAN:
BERTAUBAT &  KEMBALI KEPADA الله [Allah]

BEKAL KE- SEPULUH:
TAWAKKAL

BEKAL KE-SEBELAS:
HARTA

BEKAL KE-DUABELAS:
KEKUATAN
Namun karena keterbatasan waktu dan kesempatan yang kami miliki maka kami belum sempat menyebutkan pendalilan dan penjelasan perkara-perkara tersebut.

Mudah-mudahan dengan penjelasan yang ringkas ini bisa memacu diri-diri kita untuk mempersiapkan perbekalan untuk menghadapi bulan yang penuh berkah ini.

Wallahu Ta’ala a’lam bishowwab.