بِسْـــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Dalam sholat kita selalu membaca firman Allah ta’ala,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.” [Al-Fatihah: 4]
Beberapa Pelajaran:
1) “Hanya kepada-Mu kami beribadah” adalah hakikat Tauhid Uluhiyah, yaitu meyakini hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar, adapun sesembahan selain Allah ta’ala adalah salah. Maka seorang hamba hanya boleh beribadah kepada Allah ta’ala yang satu saja, tidak boleh mempersembahkan ibadah kepada selain-Nya.
2) “Hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan” adalah hakikat Tauhid Rububiyah, yaitu meyakini hanya Allah ta’ala yang mencipta, menguasai dan mengatur, maka hanya Dialah yang mampu menolong kita, mengabulkan doa-doa kita dan menghilangkan kesusahan dari kita, sehingga hanya kepada-Nya kita bersandar (tawakkal) dan mohon pertolongan.
Oleh karena itu sangat mengherankan jika ada orang yang membaca ayat ini setiap hari namun tidak mentauhidkan Allah ta’ala dalam uluhiyah dan rububiyah, ada yang masih menganggap boleh-boleh saja beribadah kepada selain Allah karena itu hak asasi manusia, ketika ditimpa musibah bukannya minta tolong kepada Allah ta’ala malah lari ke dukun, kuburan keramat, mempersembahkan sesajen kepada setan, pake jimat, takut bulan sial, hari sial, angka sial, dan berbagai macam keyirikan serta kekufuran lainnya.
3) Ibadah membutuhkan pertolongan Allah ta’ala. Al-‘Allamah Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
وذكر { الاستعانة } بعد { العبادة } مع دخولها فيها، لاحتياج العبد في جميع عباداته إلى الاستعانة بالله تعالى فإنه إن لم يعنه الله، لم يحصل له ما يريده من فعل الأوامر، واجتناب النواهي
“Dan disebutkan isti’anah (mohon pertolongan) setelah ibadah, padahal isti’anah juga ibadah, sebab seorang hamba membutuhkan pertolongan Allah ta’ala dalam seluruh ibadahnya, karena jika Allah ta’ala tidak menolongnya maka ia tidak akan berhasil dalam mengamalkan ibadah yang ia inginkan, apakah menjalankan perintah atau menjauhi larangan.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 39]
4) Seorang hamba tidak patut untuk berbangga diri ('ujub, kagum terhadap diri sendiri) dan menyombongkan diri (kibr, meremehkan orang lain) karena ibadah yang telah mampu ia kerjakan, karena hakikatnya itu adalah pertolongan Allah kepadanya, dan Allah tidak mencintai orang yang berbangga diri dan menyombongkan diri
5) Apabila dalam nikmat ibadah tidak patut untuk berbangga dan sombong maka dalam nikmat dunia tentu lebih tidak patut lagi.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar