BID’AH DAN BAHAYANYA
Penulis : Ibnu ‘Abdi Robbih
I. DASAR PEMBAHASAN
KESEMPURNAAN SYARI’AT ALLAH.
Allah ‘Azza wa Jallaberfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan atas kamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Ma`idah : 3)
Al-Imam Abul Fida` Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Ini adalah karunia Allah Ta’ala yang paling besar terhadap ummat ini, disaat Dia Ta’ala telah menyempurnakan agama bagi mereka. Maka merekapun tidak butuh lagi kepada agama yang lain dan tidak kepada Nabi yang lain selain Nabi mereka shollallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Allah Ta’alamenjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan Dia telah mengutus beliau kepada bangsa manusia dan jin. Maka tidak ada perkara yang halal selain yang Dia halalkan dan tidak ada perkara yang haram selain yang Dia haramkan dan tidak ada agama (termasuk ajaran agama,– red.) selain yang Dia syari’atkan”.[1]
Dari Thoriq Ibnu Syihab, beliau berkata : “Ada seorang Yahudi[2] yang pernah berkata kepada ‘Umar bin Khottab : “Wahai Amirul Mu’minin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian yang kalian baca, sekiranya ayat itu turun kepada kami kaum Yahudi, kami akan jadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya”.
Umar-pun lalu bertanya : “Ayat yang manakah itu ?”, si Yahudi-pun menjawab :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
‘Umar lalu bertutur : “Sungguh kami tahu persis hari dan tempat diturunkannya ayat itu kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, saat itu beliau dalam keadaan berdiri di padang ‘Arafah pada hari Jum’at”.[3]
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمَ.
“Tiada satupun perkara yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan bagi kalian”.[4]
2. MAKNA DAN HAKEKAT BID’AH
I. Secara Bahasa
Asal kata bid’ah adalah (بَدَعَ) yang digunakan untuk sesuatu yang dibuat pertama kali dan belum ada contoh sebelumnya.[5]
Berikut ini contoh-contoh penggunaan dalam Kitabullah :
- Firman Allah Ta’ala :
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Allah pencipta langit dan bumi”. (QS. Al-Baqoroh : 117 dan Al-An‘am : 101).
Maknanya : Hanya Allah yang menciptakan langit dan bumi untuk pertama kalinya dan belum pernah ada yang menciptakan keduanya sebelum itu.
- Firman Allah Jalla wa ‘Azza :
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنْ الرُّسُلِ
‘Katakanlah : Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul”.(QS. Al-Ahqaf : 9)
Maknanya : Aku bukanlah Rasul yang pertama kali membawa risalah Allah untuk disampaikan kepada para hamba, bahkan telah banyak Rasul telah mendahuluiku.
Sehingga kalau kata (bid’ah) ini kita pakai dalam suatu susunan bahasa Arab, seperti kalimat berikut ini :
ابْتَدَعَ فُلَانٌ بِدْعَةً
Artinya : “Si fulan telah berbuat bid’ah”.
Maka maknanya : Dia telah menempuh suatu jalan yang belum pernah ada contoh sebelumnya.
Maka amalan yang dikerjakan si Fulan itu disebut AMALAN BID’AH.
Hinga setiap amalan yang tidak ada dalil syar’inya dinamakan BID’AH.
II. Secara Istilah Syar’i.
Pengertian bid’ah yang paling lengkap adalah yang dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syathiby rahimahullah bahwa :[6]
“Bid’ah adalah suatu ungkapan/istilah akan jalan/cara dalam agama yang diada-adakan, menyerupai syari’at, tujuannya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Subhanahu”.
Penjelasan terperinci terhadap istilah di atas :
- Yang dimaksud dengan (jalan/cara) adalah segala sesuatu yang akan ditempuh, dijalani dan dikerjakan.
- (Dalam Agama) sebab yang berbuat bid’ah ini sengaja menisbahkannya kepada agama. Sehingga kalau perkara yang baru itu menyangkut masalah dunia semata, tidak dikatakan bid’ah (secara istilah syar’i, red.), seperti menciptakan alat transportasi atau komunikasi dan lain sebagainya.
- Bid’ah (menyerupai syari’at) artinya jalan dan cara itu disangka sebagai syari’at padahal bukan.
Atau dengan kata lain, bid’ah itu tampak secara zhohir sebagai bagian dari syari’at namun hakekatnya ia berbeda dengan syari’at. Dan perbedaan ini dari beberapa sisi, diantaranya :
- Menentukan tata cara tertentu yang tidak ada dalilnya.
Contoh : Menggoyang-goyangkan badan ke kanan dan ke kiri disaat berdzikir.
- Menentukan waktu-waktu tertentu disaat beribadah.
Contoh : Membaca surat Yasin pada malam Jum’at.
Maka orang yang melihat ada orang berdzikir atau membaca surat Yasin, pasti dapat memastikan bahwa orang itu sedang menjalankan suatu perintah syari’at (beribadah), padahal pada hakekatnya dia telah menyelisihi syari’at karena apa yang dikerjakannya tidak ada dalilnya dari syari’at.
Maka perkara baru yang tidak menyerupai syari’at tidak disebut bid’ah tapi digolongkan pada bagian adat istiadat (Perkara itu murni adat dan tidak ada ritual keagamaan didalamnya) yang bisa mengandung unsur ibadah dengan dua syarat :
Pertama : Perkara tersebut disertai dengan niat yang besar dari pelakunya.
Kedua : Atau perkara tersebut sebagai perantara akan terwujudnya amal yang sholih.
Contohnya : Sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam :
وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِيْ فِيْ امْرَأَتِكَ.
“Dan kamu tidak memberi nafkah sedikitpun, dengannya kamu harapkan wajah Allah melainkan kamu akan diberi pahala, walaupun hanya sesuap makanan yang kamu letakkan di mulut istrimu”.[7]
- Arti (tujuannya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah).
Ini alasan paling kuat bagi pelaku bid’ah. Dan asal-usul timbulnya suatu bid’ah karena pelakunya ingin konsentrasi melakukan ibadah, sebab AllahTa’ala berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat : 56).
Maka seakan-akan si pelaku bid’ah tersebut ingin merealisasikan makna ayat ini, dalam keadaan dia tidak memahami dan menyadari bahwa apa yang telah ditetapkan oleh syari’at berupa aturan-aturan dan batasan-batasan semuanya sudah cukup.
Al-Imam Abu Sulaiman Al-Khoththaby rahimahullah berkata tentang makna hadits :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
“Setiap perkara yang baru adalah bid’ah”.
“Ini khusus dalam beberapa perkara saja, yaitu sesuatu yang baru dalam perihal agama dan belum ada contoh sebelumnya, tidak ada ungkapan dan analoginya dalam agama. Adapun perkara yang ditegakkan di atas kaidah-kaidah pokok (berasal dari syari’at,–pen.) dan dapat dikembalikan kepadanya, tidak akan disebut sebagai bid’ah dan kesesatan. Wallahu A’lam”.[8]
DALIL-DALIL DARI KITABULLAH YANG MEMERINTAHKAN UNTUK MENGIKUTI SUNNAH DAN MELARANG UNTUK MENYELISIHINYA.[9]
(DALIL-DALIL UMUM)
[ 1 ]
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
“Dan Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-A’raf : 156-157).
[ 2 ]
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ‘Imron : 31).
[ 3 ]
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr : 7)
[ 4 ]
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”. (QS. An-Nuur : 63)
[ 5 ]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisaa` : 59)
DALIL-DALIL TENTANG LARANGAN BERBUAT BID’AH
I. DALIL NAQL.
DARI KITABULLAH (DALIL-DALIL KHUSUS)
- Firman Allah Ta’ala :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-An’am : 153)
Sisi pendalilan :
“Jalan yang lurus adalah jalan yang diserukan (oleh Rasul-Nya) yaitu As-Sunnah, dan jalan-jalan yang lain adalah jalan orang-orang yang menyimpang dan menyelisihi jalan yang lurus tersebut, yaitu Ahlul Bid’ah, jadi bukan yang dimaksud jalan-jalan maksiat (tetapi bid’ah –pen.). Karena maksiat tidak dikerjakan pelakunya dengan menempuh cara khusus yang menyerupai syari’at. Jadi (jalan-jalan lain yang dimaksud dalam ayat ini) sifatnya khusus yaitu bagi perkara bid’ah saja”.[10]
Oleh karena itu, firman Allah Ta’ala
وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ
“Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lain)”.
telah ditafsirkan oleh Imam Abul Hajjaj Mujahid Ibn Jabr Al-Makky dengan : “Bid’ah-bid’ah dan syubhat-syubhat”.[11]
- Firman Allah Jalla fii ‘Ula :
وَعَلَى اللّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَآئِرٌ وَلَوْ شَاء لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar)”. (QS.An-Nahl : 9)
Dari At-Tustary beliau berkata :
(قصد السبيل) Jalan yang lurus artinya adalah jalan sunnah dan (ومنها جائر) jalan yang bengkok yaitu yang mencampakkan ke Neraka, itulah ideology-ideologi sesat dan bid’ah-bid’ah”.[12]
Dari Mujahid beliau berkata :
(قصد السبيل) Jalan yang lurus adalah jalan tengah antara sikap berlebih-lebihan (Al-Ghuluw) dan sikap meremehkan (At-Taqshir). Dan ini menunjukkan bahwa (الجائر) jalan yang bengkok itu adalah sikap ghuluw dantaqshir dan keduanya adalah termasuk sifat-sifat bid’ah”.[13]
DARI AS-SUNNAH AL-MUTHOHHAROH ASH-SHOHIHAH
- Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengadakan sesuatu yang baru dalam agama kami padahal ia tidak ada asalnya (dalam agama) maka sesuatu itu tertolak”.[14]
Dalam riwayat yang lain dari hadits ‘Aisyah, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak termasuk dalam urusan agama kami, maka hal itu tertolak”.[15]
Al-Imam An-Nawawy berkata :[16]
“Menurut para ahli bahasa Arab, makna tertolak (pada hadits di atas) adalah BATHIL tidak teranggap (suatu amal sholeh –pen.). Dan hadits tersebut merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ia termasuk sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang singkat teksnya namun padat maknanya (Jawami’ul Kalim).
Hadits tersebut juga sangat jelas untuk menolak semua jenis bid’ah dan perkara-perkara yang baru dalam agama.
Dan pada riwayat kedua ada tambahan, dimana memungkinkan pelaku bid’ah menjadikan riwayat pertama sebagai dalil untuk mengerjakan bid’ah yang sudah ada yang mengerjakannya sebelum dia (dia bukan orang yang pertama yang mengerjakan bid’ah tersebut –pen.).
Maka kita gunakan riwayat yang kedua untuk membantahnya. Karena pada riwayat yang kedua itu terdapat dalil yang sangat jelas dalam menolak semua jenis bid’ah, baik yang baru dibuat oleh pelakunya atau bid’ah yang sudah ada sebelumnya (dia hanya melanjutkan bid’ah tersebut –pen.).
Pada hadits tersebut ada dalil bagi kalangan ahli ushul yang berpendapat bahwa larangan dari suatu perkara menunjukkan rusak dan batalnya perkara tersebut. Dan bagi yang berpendapat tidak rusak dan batalnya perkara tersebut berdalil bahwa hadits ini adalah Khobar Ahad * tidak cukup untuk menetapkan kaidah yang penting ini. Dan ini adalah jawaban yang rusak.
Maka hadits ini termasuk hadits yang patut dihafal dan digunakan untuk meruntuhkan kemungkaran-kemungkaran bid’ah, dan hadits ini harus disebarluaskan pendalilannya”.
- Dari Jabir Ibn ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam khutbah beliau :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Amma ba’du. Maka sesungguhnya sebai-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.[17]
- Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا.
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala-pahala asal mereka. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikuti ajakannya, tidak dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa asli mereka”.[18]
- Hadits Al-‘Irbadh ibn Sariyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu hari seusai sholat Shubuh, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallammemberikan nasehat kepada para shahabatnya. Sebuah nasehat yang berkesan, sampai meneteskan air mata dan menggetarkan jiwa. Dan diantara nasehat beliau adalah :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيْيِنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Maka siapa diantara kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak sekali perselisihan. Maka wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para penggantiku yang terbimbing di atas jalan petunjuk, berpegang teguhlah kalian dengan sunnah tersebut, gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham. Dan jauhkanlah diri kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.[19]
DARI ATSAR-ATSAR SALAFIYAH
- ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
اتَّبِعُوْا وَلَا تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Ikutilah (Sunnah) dan jangan berbuat bid’ah, sungguh telah cukup bagimu (yang ada dalam sunnah itu). Sesungguhnya bid’ah itu sesat”.[20]
- ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
الْإِقْتِصَادُ فَي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الْإِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ.
“Sederhana tetapi dalam bingkai sunnah jauh lebih baik dari bersungguh-sungguh tapi dalam perkara bid’ah”.[21]
- ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.
“Setiap bid’ah itu sesat sekalipun dipandang baik oleh manusia”.[22]
- Malik bin Anas (Imam Daril Hijrah) berkata :
مَنِ ابْتَدَعَ فِي الْإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا النَّاسُ حَسَنَةً, فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ, لَأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ : (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ). فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا.
“Barangsiapa yang berbuat suatu bid’ah dalam Islam yang dia anggap itu adalah suatu kebaikan, maka sungguh dia telah menuduh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah (ajaran yang dititahkan Allah kepada beliau). Sebab Allah telah berfirman “Pada hari ini telah kusempurnakan agama buat-mu”. Maka yang tidak termasuk ajaran agama pada hari itu (saat turunnya ayat tersebut) juga tidak akan pernah termasuk ajaran agama sampai hari ini”.[23]
- Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy rahimahullah berkata :
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik (perbuatan bid’ah), sungguh dia telah membikin syari’at tandingan (dengan syari’at Allah)”.[24]
- ‘Abdullah bin Mubarak Al-Marwazy rahimahullah berkata :
“Ketahuilah, saya menilai bahwa kematian adalah kemuliaan bagi setiap muslim, yang berjumpa dengan Allah di atas Sunnah, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’. Hanya kepada Allah kami adukan keterasingan kami, meninggalnya ikhwan-ikhwan kami, sedikitnya orang-orang yang menolong kami dan semakin merebaknya bid’ah. Hanya kepada Allah kami mengadu akan besarnya petaka yang menimpa ummat ini dengan wafatnya para ulama dan Ahlus Sunnah serta semakin tersebarnya bid’ah”.[25]
DALIL ‘AQL TENTANG KEBURUKAN BID’AH[26]
Pertama : Hal yang telah dimaklumi sesuai dengan uji coba dan keahlian (pengetahuan secara umum –pen.), bahwa bersandar pada akal semata dalam menentukan baik buruknya sesuatu adalah hal yang tidak mungkin, baik menyangkut urusan keduniaan terlebih lagi urusan akhirat (dien).
Adapun urusan keduniaan, sangat jelas ketidaksanggupan akal untuk menjangkau kebaikan suatu perkara atau keburukannya secara mendetail sebelum dan sesudah perkara itu dikerjakan. Karena yang mencetuskan perkara itu pertama kalipun, hanya karena keberhasilannya mengkaji ilmu Allah.
Maka kalau bukan atas rahmat dan kasih sayang-Nya kepada manusia dengan memperhatikan sebaik-baiknya firman Allah Ta’ala :
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!””. (QS. Al-Baqarah : 31).
Adapun urusan akhirat (agama) lebih tidak memungkinkan lagi peranan akal dalam menentukan cara untuk meraih kebaikan-kebaikannya (beribadah), kecuali dengan mengikuti yang telah ditetapkan oleh syari’at, baik secara umum terlebih lagi secara khusus dan terperinci.
Kedua : Sesungguhnya syari’at telah sempurna, tidak menerima penambahan dan pengurangan sedikitpun, seperti firman Allah di surat Al-Ma`idah ayat 3.
Adapun pelaku bid’ah baik secara langsung dari ucapannya atau dari keadaannya yang seolah-olah menyatakan bahwa syari’at itu belum sempurna, masih ada bagian-bagian tertentu yang harus ditambahkan dan disempurnakan padanya. Sebab kalau dia yakini kesempurnaan syari’at itu dari segenap sisinya, tidak mungkin dia akan berbuat bid’ah.
Ketiga : Para pelaku bid’ah adalah orang-orang yang terang-terangan telah menyelisihi syari’at dan menentangnya, karena yang menetapkan syari’at (Allah dan Rasul-Nya) telah menentukan tata cara khusus dengan sangat terperinci bagi si hamba yang ingin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, dan telah membatasi si hamba agar tidak keluar dari tata cara tersebut. Dan Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya, Dia telah mengutus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Dam para pelaku bid’ah menolak semua yang diuraikan tadi, sebab menurut anggapan mereka, masih ada jalan/tata cara beribadah yang tidak ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Na’udzu billahi minal Khudzlan.
CELAAN TERHADAP PERBUATAN BID’AH DAN NASIB BURUK YANG AKAN DIALAMI OLEH PELAKUNYA.
- Tidak akan diterima amalannya.
Seperti bid’ah kaum Qodariyah (pengingkar taqdir). Hal ini sesuai pernyataan sikap shahabat yang mulia ‘Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :
“Apabila engkau menemui mereka (Qodariyah), sampaikanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan merekapun berlepas diri dariku. Demi Allah, kalau sekiranya seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud yang dia infaqkan, maka ALLAH TIDAK AKAN MENERIMANYA sebelum dia beriman kepada takdir Allah”.[27]
Seperti juga bid’ahnya kaum Khawarij, tatkala Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa :
“Mereka berlepas diri dari agama seperti lepasnya anak panah dari busurnya”.
Hal ini beliau nyatakan sesudah ucapan beliau kepada para shahabat :
“Kalian memandang sholat dan puasa kalian tidak ada nilainya dibanding sholat dan puasa mereka”.
Artinya : Sholat dan puasa orang-orang Khawarij tidak teranggap.
Para ulama berbeda pendapat akan tidak diterimanya amalan pelaku bid’ah :
Pendapat Pertama meyatakan bahwa mutlak/semua amalannya tidak diterima.
Pendapat kedua mengatakan bahwa amalan yang tidak diterima adalah khusus amalan yang ada bid’ahnya saja.
Dan kedua pendapat ini memungkinkan.
Adapun untuk yang pertama, maka apabila bid’ahnya pada ushul (prinsip-prinsip agama) yang mengikuti pada furu’ (cabang-cabang agama).
Contoh : Yang mengingkari khobar Ahad, sebab umumnya masalah-masalah taklif (pembebanan syari’at) mengacu pada khobar ahad.
Adapun yang kedua, berlaku pada pelaku bid’ah pada tata cara beribadah yang ibadahnya walaupun bercampur dengan bid’ah, ada juga ibadahnya yang lain yang sesuai dengan sunnah.[28]
- Yang membantu dan memuliakan pelaku bid’ah, ikut andil dalam menghancurkan Islam.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau melindungi/membantu pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia”.[29]
Fudhail ibn ‘Iyadh rahimahullah berkata : “Barangsiapa menolong pelaku bid’ah, maka sungguh dia telah membantu untuk menghancurkan Islam”.[30]
Sisi pendalilan : Karena melindungi pelaku bid’ah sama dengan memuliakan dan mengagungkannya. Hal ini karena bid’ah yang dikerjakannya. Sementara syari’at memerintahkan untuk memboikot dan menghinakannya, bahkan membolehkan untuk menyikapi ahlul bid’ah itu dengan berbagai perlakuan yang keras, seperti dipukul dan dibunuh. Maka jadilah perlindungan dan pemuliaan pelaku bid’ah sebagai penghalang bagi diterapkannya syari’at Islam, bahkan yang diterapkan justru menyelisihi Islam dan menafikannya. Dan ajaran Islam tidaklah sirna kecuali disaat ditinggalkan dan diabaikan ajaran-ajaran tersebut.[31]
- Semakin jauh dari Allah.
Ayyub As-Sikhtiyany berkata : “Tidaklah bertambah semangat pelaku bid’ah dalam mengerjakan bid’ahnya melainkan dia semakin bertambah jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla”.[32]
Asy-Syathiby berkata : “Keabsahan penukilan ini dapat ditunjukkan pada hadits Al-Khawarij yang terdahulu”.[33]
- Bid’ah adalah sebab perpecahan dan menjadi biang permusuhan dan kebencian sesama ahlul Islam. Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”. (QS. Al-An’am : 159)
Asy-Syathiby berkata : “Bukti nyata pertama adalah kisahnya orang-orang Khawarij. Mereka memusuhi dan membantai orang-orang Islam dan membiarkan hidup orang-orang kafir”.[34]
- Terhalang dari telaga Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيَخْتَلِجَنَّ دُوْنِيْ فَأَقُوْلُ يَا رَبِّ أَصْحَابِيْ فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِيْ مَا أَحْدَثُوْا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului dan menunggu kalian melintas di telagaku. Dan akan dibawakan beberapa orang lalu diperintahkan kepadaku. Dan aku berkata : “Wahai Robbku, mereka adalah ummatku”, maka dikatakan kepada beliau : “Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat (bid’ah) sepeninggalmu”.[35]
- Terhalang dari syafa’at.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِيْ فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ … فَيُقَالُ لِيْ إِنَّهُمْ لَمْ يَزَالُوْا مُرْتَدِّيْنَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ مُنْذُ فَارَقْتَهُمْ.
“Ketahuilah, makhluk pertama yang akan diberikan pakaian pada hari Kiamat adalah Ibrahim ‘alaihis salam. Ketahuilah, akan didatangkan dari ummatku dan mereka akan dihasung dari arah kiri …. Lalu dikatakan kepadaku : “Sesungguhnya mereka telah berpaling sejak engkau meninggalkan mereka”.[36]
Asy-Syathiby berkata : “Kemungkinan yang dimaksud di hadits ini adalah ahlul bid’ah seperti di hadits Al-Muwaththo` dan kemungkinan juga yang dimaksud adalah orang-orang yang murtad sepeninggal Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.[37]
Al-Imam Ibnul Jauzy rahimahullah telah membawakan hadits ini pada : ‘Bab Celaan Terhadap Bid’ah dan Ahlul Bid’ah’.[38]
- Para penyebar bid’ah memikul dosa orang yang terus mengikuti ajakannya sampai hari Kiamat.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
لِيَحْمِلُواْ أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُم بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلاَ سَاء مَا يَزِرُونَ
“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl : 25).
- Pelaku bid’ah sulit untuk bertaubat.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menahan taubatnya Ahlul bid’ah”.[39]
Sebabnya adalah karena sikap tunduk pada ketentuan syari’at merupakan perkara yang berat, karena bertentangan dengan hawa nafsu dan memutuskan dominasi syahwat. Dan setiap jiwa hanya akan senang dengan sesuatu yang sesuai dengan kehendak hawa nafsunya dan tidak akan senang dengan sesuatu yang menyelisihinya. Dan pelaku bid’ah menganggap apa yang dia kerjakan adalah sesuai keinginan pembuat syari’at. Maka bagaimana mungkin dia akan keluar dari bid’ahnya, sementara dia bersikeras mempertahankan keyakinannya”.[40]
- Dikhawatirkan mereka menjadi kafir.
Hal ini sesuai dengan firman Allah ‘Azza fii ‘Ula.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”. (QS. An-Nur : 63).
(Fitnah) pada ayat ini ditafsirkan oleh beberapa ulana dengan kekufuran, kemurtadan dan bid’ah.[41]
Oleh karena itu , Ahlus Sunnah mengkafirkan beberapa kelompok ahlul ahwa` wal bida’, seperti Jahmiyah, Qodariyah (ekstrim,-red.), Rawafidh, dan mereka berbeda pendapat tentang kekafiran Khawarij. Tapi walaupun demikian, adakah orang yang senang dirinya diperselisihkan ulama apakah dia kafir ataukah dia sesat tapi tidak kafir.*
- Dikhawatirkan pelaku bid’ah mati dalam keadaan su`ul khotimah(penutupan yang buruk). Wal ‘Iyadzu billahi.
Hal ini disebabkan karena pelaku bid’ah telah berbuat dosa dan maksiat kepada Allah, meyakini maksiat yang dikerjakannya adalah ketaatan kepada Allah, dia menganggap baik apa yang dinyatakan jelek oleh syari’at.
Maka barangsiapa yana mati dalam keadaan terus-menerus mengerjakan maksiat, dikhawatirkan dia mati dalam keadaan su`ul khotimah.
- Hitam wajahnya ahlul bid’ah pada hari Kiamat
Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram”. (QS. Ali ‘Imron : 106)
Ibnu Katsir berkata : “Yaitu pada Hari Kiamat, disaat putih berseri wajahnyaAhlus Sunnah wal Jama’ah dan hitam musam wajahnya ahlul bid’ah wal furqoh. Hal ini dituturkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma”.[42]
ولله أولا وآخرا
Sumber : Majalah An-Nashihah Vol. 6
[1] Tafsir Al-Qur`anul Azhiem
[2] Dia adalah Ka’ab Al-Ahbar yaitu Ka’ab bin Mati’ Al-Himyari Al-Yamani.
Periksa : Fathul Bary (1/105)
Ka’ab Al-Ahbar masuk Islam pada pemerintahan ‘Umar Ibnul Khottab.
Lihat : Siyar A’lamin Nubala` (3/489)
[3] Hadits Shohih, riwayat Al-Bukhory no. 45 dan Muslim mo. 3017
[4] Hadits Shohih, riwayat Ath-Thobrany dalam Al-Kabir (1647). Dishohihkan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’uz Zawa`id (8/264). (Akan tetapi menurut keterangan Ad-Daruqthny dalam ‘Ilal-nya 6/290 bahwa yang benar dalam hadits ini adalah riwayat mursal,-red.)
[5] Lihat : Lisanul ‘Arab (8/6 dan 7) dan Al-Mu’jamul Wasith hl. 43.
[6] Menurut Syaikhuna Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaily -waffaqahullah- dalam kitab beliau Mauqif Ahlis Sunnah (1/92), ini adalah definisi yang terpilih, karena paling lengkap memberikan batasan-batasan bid’ah dalam tinjauan syari’at. Wallahu A’lam.
[7] Hadits Shohih, riwayat Al-Bukhory no. 4409 (dan Muslim no. 1628, red.) dari hadits Sa’ad ibn Abi Waqhqhos radhiyallahu ‘anhu.
Lihat kitab : Qowa’idu Ma’rifatil Bida’ hal. 107 karya Muhammad ibn Husein Al-Jizary.
[8] Ma’alimus Sunan (7/12) dicetak bersama kitab Mukhtashor Sunan Abi Dawud
[9] Berikut ini adalah sejumlah ayat-ayat suci Al-Qur`an yang dijadikan dalil oleh Al-Imam As-Suyuthy radhiyallahu ‘anhu dalam kitabnya Al- Amru bil ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ hal. 31-32.
[10] Al-I’tishom (1/76).
[11] Riwayat Ad-Darimy no. 203 dan Al-Baihaqy dalam Al-Madkhal ila As-Sunanil Kubro no. 201. Lihat Tafsir Ath-Thobary (5/396-397). Darul Kutub Ilmiyah.
[12] dan 13 lihat Al-I’tishom (1/78-79)
[14] Hadits Shohih, riwayat Al-Bukhory (2697) dan Muslim (4467)
[15] Hadits Shohih, riwayat Muslim (4468)
[16] Syarah Shohih Muslim (6/242)
* Ini adalah salah satu pemikiran bid’ah Hizbut Tahrir (HT) yaitu menolak hujjahnya Khobar Ahad. Simak jawaban dan bantahannya dalam buku :HIZBUT TAHRIR MU’TAZILAH GAYA BARU oleh Asy-Syeikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany.
[17] Hadits Shohih. Riwayat Muslim (6/242).
Khutbah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam disebut ‘Khutbatul Hajah’. Silakan baca takhrij hadits-haditsnya besarta uraiannya dalam sebuah risalah yang berjudul : Khutbatul Hajah allati kana Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam yu’allimu ashabhu karya Asy-Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah.
[18] Hadits Shohih, riwayat Muslim (6745)
An-Nawawy berkata (Syarah Shohih Muslim : 8/444): “Baik petunjuk atau kesesatan itu, dia yang pertama kali menciptakannya atau dia hanya sebagai pelanjut, baik dengan cara mengajarkan suatu ilmu atau ibadah atau adab prilaku dan lain sebagainya”.
[19] Hadits Shohih, riwayat Abu Daud (4607), At-Tirmidzy (2676), Ibnu Majah (43 dan 44) dan yang lainnya.
Dishohihkan oleh At-Tirmidzy, Ibnu Hibban (1/104), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/96) dan disetujui oleh Adz-Dzahaby.
Periksa : Jami’ul Ulum wal Hikam (2/65-66) karya Ibnu Rajab Al-Hanbaly dengan ta’liq Thoriq Ahmad Muhammad.
[20] Atsar shohih, riwayat Ad-Darimy (205), Al-Baihaqy dalam Al-Madkhol(204), Ath-thobrany dalam Al-Kabir (8770) dan ini lafzhny Ath-Thobrany.
Telah dishohihkan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’uz Zawa`id (1/181) dan Al-Albany dalam ta’liq beliau terhadap Kitabul ‘Ilmi karya Abu Khoitsamah (54)
[21] Atsar shohih, riwayat Ad-Darimy (217), Ath-Thobrany dalam Al-Kabir(10488), Al-Hakim (1/103) dan Al-Baihaqy (3/19).
Telah dishohihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahaby dalamTalkhishul Mustadrak
[22] Atsar shohih, riwayat Al-Lalika`i (126), Ibnu Baththah (205) dan Al-Baihaqy dalam Al-Madkhal (191). Periksa kitab ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92, karya Asy-Syaikh Ali-Hasan Al-Halaby.
[23] Al-I’tishom (1/64-65)
[24] Ungkapan ini dinisbahkan oleh sejumlah ahlul ‘ilmi khususnya dari kalangan Ahli Ushul kepada Al-Imam Asy-Syafi’iy.
Dan menurut Al-Imam Al-‘Iraqhy bahwa pembacaan yang benar pada kata (شَرَعَ) dengan takhfif dan bukan tasydid (شَرَّعَ), hal ini sesuai firman Allah Ta’ala :
( شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا )
“Dia telah menyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwahyukannya kepada Nuh”. (QS. Asy-Syuura : 13)
Lihat : Ta’liq Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman terhadap kitab : Al-Ba’its fi Inkaril Bida’ wal Hawadits hal. 50-51 karya Al-Imam Abu Syamah Asy-Syafi’iy.
[25] Al-I’tishom (1/115-116)
[26] Disadur dari kitab Al-I’tishom (1/61-65) karya Asy-Syathiby dengan beberapa perubahan
[27] Hadits shohih, riwayat Muslim (1)
[28] Lihat Al-I’tishom (1/144-146)
[29] Hadits shohih, riwayat Al-Bukhory (1870) (dan Muslim (1370),-red.) dari Ali bin Abi Tholib dan Muslim (3310) dari Anas ibn Malik
[30] Hilyatul Auliya` (8/103-104)
[31] Al-I`tishom (1/151)
[32] Talbis Iblis hal. 22
[33] Al-I’tishom (1/155)
[34] Al-I’tishom (1/157)
[35] Hadits shohih, riwayat Al-Bukhory (6576) dan Muslim (2297)
[36] Hadits shohih, riwayat Al-Bukhory (4625) dan Muslim (7130)
[37] Al-I’tishom (1/98)
[38] Talbis Iblis hal. 21
[39] Hadits shohih, riwayat Ath-Thobrany dalam Al-Ausath (3202) dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (7238). Dan telah dishohihkan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’uz Zawa`id (10/189) dan Asy-Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (1620).
[40] Al-I`tishom (1/164-165)
[41] Lihat Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thobary (9/361) dan Tafsir Ibnu Katsir(3/311).
* Yang rajah –wal ‘ilmu ‘indallah- adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa (3/282), (5/247), (7/217), bahwa Khawarij tidak kafir. Hal ini menurut beliau sesuai dengan Ijma’nya para shahabat yang tidak mengkafirkan mereka dan hanya menganggap mereka kaum Muslimin yang zhalim dan melampaui batas. Lihat : KitabMauqif Ahlis Sunnah (1/140).
[42] Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim (1/397).
Peringatan : Namun penisbatan tafsir ini kepada shahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas tidak sah, sebab sanad-sanadnya sangat lemah.
Lihat kitab : Miftahul Jannah fil I’tishomi bis Sunnah, karya Al-Imam As-Suyuthy hal. 142, dengan ta’liq Asy-Syeikh Badr Al-Badr. Wallahu A’lam bish Showab.
Berbuat Bid’ah Sama Dengan Menyaingi Allah dalam Menetapkan Syari’at
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Allah tabaraka wa ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah!?” [Asy-Syuro: 21]
Beberapa Pelajaran:
1) Mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah artinya berbuat bid’ah dalam agama. Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah (w. 310 H) berkata,
يقول تعالى ذكره: أم لهؤلاء المشركين بالله شركاء في شركهم وضلالتهم (شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ) يقول: ابتدعوا لهم من الدين ما لم يبح الله لهم ابتداعه
“Firman Allah ta’ala dzikruhu tersebut maknanya: Apakah orang-orang yang menyekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang lain dalam kesyirikan dan kesesatan mereka itu “yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah!?” Artinya: Mengada-ada (berbuat bid’ah) untuk mereka agama yang Allah tidak izinkan untuk mereka mengada-adakannya!?”
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah (w. 597 H) berkata,
والمعنى: ألَهُمْ آلهةٌ شَرَعُوا أي ابتدعوا لَهُمْ دِيناً لم يأذن به الله؟!
“Maknanya: Apakah mereka memiliki sesembahan-sesembahan yang mensyari’atkan, artinya yang berbuat bid’ah untuk mereka agama yang Allah tidak izinkan?!”
2) Hanya Allah ta’ala yang berhak menetapkan aturan-aturan dan cara-cara beribadah dalam agama, yang Dia turunkan dalam kitab-Nya Al-Qur’an yang mulia atau melalui lisan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam As-Sunnah.
3) Allah subhanahu wa ta’ala menyamakan para pembuat syari’at dan cara-cara ibadah kaum musyrikin dengan sesembahan-sesembahan selain Allah ta’ala, maka ayat yang mulia ini mengandung celaan yang keras terhadap orang-orang yang menetapkan hukum yang bertentangan dengan syari’at atau berbuat bid’ah dalam agama, pada hakikatnya mereka telah menyamakan diri mereka dengan Allah ta’ala, dan para pengikut mereka telah meyamakan mereka dengan Allah ta’ala, sadar atau tidak.
4) Pentingnya menuntut ilmu agama berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf, karena seseorang tidak mungkin dapat beribadah kepada Allah ta’ala sesuai dengan syari’at-Nya tanpa memiliki ilmunya.
5) Bahaya taklid buta; ikut-ikutan terhadap tokoh-tokoh, tradisi nenek moyong dan kebiasaan masyarakat tanpa mencocokkannya terlebih dahulu dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai Pemahaman Salaf, karena akan menjerumuskan ke dalam syirik dan bid’ah sebagaimana yang terjadi pada kaum muysrikin dahulu dan telah terjadi pada sebagian kaum muslimin, waspadalah…!
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar