Kamis, 27 Februari 2014

Hukum Menerima Pemberian dari Harta Haram



▁▂▃▄▅▆▇Ust Dzulqarnain▇▆▅▄▃▂▁

✒ Pertanyaan: 

Apakah boleh menerima uang pinjaman (tanpa bunga) atau pemberian/hibah dari teman untuk modal usaha kita, sementara uang tersebut dia peroleh dari pinjaman bank?
✒  Jawaban: 
Harta haram terbagi dua [1]:
  • ✒Pertama , Haram pada dzat dan asalnya.   Yaitu, harta yang memang asalnya adalah haram, seperti anjing, babi, atau berkaitan dengan kepemilikan orang lain, seperti barang curian dan hasil rampokan. Pada harta seperti ini, para ulama bersepakat bahwa tidak boleh diterima berdasarkan keharaman dalam dzat harta tersebut dan karena keberkaitan dengan kepemilikan orang lain.  Kesepakatan ulama tentang ketidak bolehan ini telah dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dan selainnya [2].
  • ✒Kedua, haram karena sifatnya atau sebab dalam mendapatkannya.  Yaitu, harta yang didapatkan dengan cara haram, seperti hasil riba atau hasil judi.  Pada harta yang seperti ini, terdapat silang pendapat dikalangan ulama. Yang benar adalah boleh diambil, tetapi dengan mengingat bahwa sebagian ulama menganggap bahwa harta yang lebih didominasi oleh hal haram adalah lebih wara’untuk ditinggalkan. 

 Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu ditanya tentang seseorang yang memiliki tetangga yang memakan Riba secara terang-terangan, tetapi tidak merasa bersalah dengan harta yang buruk, lalu sitetangga itu mengajaknya dalam undangan makan. 

Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu pun menjawab, “Penuhilah undangannya.
Kenikmatan (makanan) adalah untuk kalian, tetapi dosanya adalah terhadap dia. ” Dalam sebuah riwayat, si penanya berkata, “Saya tidak mengetahui sesuatu apapun yang menjadi miliknya, kecuali hal yang buruk atau hal yang haram,” tetapi Ibnu Mas’ûd tetap menjawab, “Penuhilah undangannya.” [3]

Imam Az-Zuhry dan Imam Makhûl berkata, “Tidaklah mengapa makan berupa (harta haram) selama tidak diketahui keharaman pada dzatnya.” Yang semisal dengan itu diriwayatkan pula dariAl-Fudhail bin ‘Iyâdh. [4]

Dalam hadits Rasulullah shallallâhu‘alaihi wa sallam, terdapat beberapa hadits yang menjelaskan bahwa beliau memakan berupa makanan orang-orang Yahudi dan bertansaksi dengan mereka, padahal orang-orang Yahudi telah diketahui, dalam uraian Al-Qur`an, bahwa mereka memakan riba dan harta haram. 


✒ Di antara hadits-hadits tersebut adalah,

  • 1. Hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu .  Beliau bertutur,

ﺃَﻥَّ ﻳَﻬُﻮﺩِﻳَّﺔً ﺃَﺗَﺖِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺸَﺎﺓٍﻣَﺴْﻤُﻮﻣَﺔٍ، ﻓَﺄَﻛَﻞَ ﻣِﻨْﻬَﺎ …

“Sesungguhnya seodrang perempuan Yahudi mendatangkan (daging) kambing, yang telah diracuni, kepada Nabi shallallâhu‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memakan (daging) itu….
 [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim]

  • 2. Hadits Aisyah radhiyallâhu‘anhâ.   Beliau berkata,

ﺗُﻮُﻓِّﻲَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺩِﺭْﻋُﻪُﻣَﺮْﻫُﻮﻧَﺔٌ ﻋِﻨْﺪَ ﻳَﻬُﻮﺩِﻱٍّ، ﺑِﺜَﻼَﺛِﻴﻦَ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻌِﻴﺮٍ

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam meninggal, sementara baji besi beliau tergadai disisi seorang Yahudi dengan harga tiga puluhshâ’ jelay.”
 [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim] 

Berikut beberapa fatwa dari ulama kita seputar masalah yang ditanyakan. 
Di antaranya: 

Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh , ditanya, “Apakah Saya boleh meminjam (sesuatu) dari seorang yang perdagangannya dikenal dengan hal yang haram dan dia mengambil hal yang haram?

 ”Beliau menjawab,“  Engkau –wahai saudaraku- tidak pantas meminjam dari orang ini atau bermu'amalah dengannya sepanjang (seluruh) muamalahnya adalah hal yang haram dan dikenal dengan mu'amalah riba yang diharamkan, atau selainnya. 
Maka, engkau tidak boleh bermu'amalah dengannya tidak pula meminjam darinya, tetapi engkau wajib berbersih dan menjauh dari hal tersebut. 
Namun, kalau dia bermu’amalah dengan hal yang haram, (tetapi) juga dengan hal yang selain haram, yakni bahwa mu'amalahnya ada terlihat yang baik, tetapi ada pula yang buruk, tidaklah mengapa (engkau bermuamalah), tetapi meninggalkan hal itu adalah lebih afdhal berdasarkan sabda (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wasallam,

ﺩَﻉْ ﻣَﺎ ﻳَﺮِﻳﺒُﻚَ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﺮِﻳﺒُﻚَ

“Tinggalkanlah segala sesuatu yang meragukanmu (menuju) kepada hal-hal yang tidak meragukanmu,” [5]

Juga berdasarkan sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

ﻣَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒْﻬَﺎﺕِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳﻨِﻪِ ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ

“Barangsiapa yang menjaga dirinya terhadap syubhat, sungguh dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya,” [6]

Juga berdasarkan sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

ﺍﻟْﺈِﺛْﻢُ ﻣَﺎ ﺣَﺎﻙ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺴِﻚَ ﻭَﻛَﺮِﻫْﺖَ ﺃَﻥْ ﻳَﻄَّﻠِﻊَ ﻋَﻠَﻴْﻪِﺍﻟﻨَّﺎﺱُ

“Dosa adalah apa-apa yang bergejolak dalam dirimu, sedang engkau benci bila manusia mengetahuinya.” [7]

Jadi, seorang mukmin menjauhi hal-hal syubhat.
Apabila engkau mengetahui bahwa seluruh muamalahnya adalah haram atau dia berdagang dalam hal yang diharamkan, yang seperti ini tidak dilakukan muamalah dengannya, tidak pula boleh diambil pinjaman darinya.
”[Fatâwâ Islâmiyah 2/416] 

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh ditanya, “Seorang lelaki mengetahui bahwa sumber harta-harta ayahnya adalah berasal dari hal yang haram. 
  Apakah dia boleh makandari makanan ayahnya? Jika dia tidak makan dari makanan ayahnya, apakah hal tersebut merupakan kedurhakaan? 

”Beliau menjawab,“ Orang yang mengetahui bahwa harta ayahnya adalah berasal darihal yang haram, apabila (harta itu) haram pada dzatnya, yakni dia mengetahui bahwa ayahnya mencuri harta ini dari seseorang, dia tidak boleh memakan (harta) tersebut. 
Andaikata engkau mengetahui bahwa ayah mumencuri dan menyembelih kambing ini, janganlah engkau memakan (kambing) tersebut dan janganlah engkau mematuhi undangannya. 
 Adapun apabila (harta itu) adalah haram karenacara menghasilkannya, yakni dia melakukan riba, muamalah dengan menipu oleh (ayahmu), dalil untuk hal ini adalah bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam makan dari harta orang-orang Yahudi, padahal mereka dikenal mengambil riba dan memakan yang haram.
 (Juga bahwa) seorang perempuan Yahudi di Khaibar telah menghadiahkan (daging) kambing beracun kepada beliau agar beliau mati, tetapi Allah menjaga beliau hingga waktu yang telah ditentukan.
(Juga bahwa) seorang Yahudi telah mengundang beliau untuk (memakan) roti dari jelay dan minyak yang baunya sudah berubah maka beliau memenuhi undangan dan memakan (roti) itu.
Beliau juga telah membeli makanan untuk keluarganya dari seorang Yahudi. Beliau dan keluarganya memakan (makanan) tersebut. 
Hendaknya (si penanya tetap) makan, dan dosa (ditanggung) oleh ayahnya.
[Liqâ Al-Bâb Al-Maftûh no. 188] 

Syaikh Muqbil rahimahullâh ditanya, “Apakah (boleh) menerima hadiah dari orang yang bekerja dalam hal yang haram, atau menyumbang untuk pembangunan masjid atau untuk amalan-amalan kebaikan lainnya? 

”Beliau menjawab,“ Sikap wara’ (berhati-hati) dalam hal tersebut adalah tidak diterima, walaupun sebenarnya dosa (ditanggung) oleh pelakunya secara langsung sebagaimana yang telah berlalu. 
Kami mengatakan bahwa dosa (ditanggung) oleh pelakunya secara langsung karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bermuamalah bersama orang-orang Yahudi, padahal mereka bermuamalah secara riba. 
Kadang mereka mengundang Nabi, lalu beliau memenuhi undangan mereka, padahal mereka bermuamalah secara riba.
 [Tuhfatul Mujîb hal. 57-58] 

Syaikh Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâny rahimahullâh ditanya,“Seseorang menghadiahkan -misalnya makanan- kepada kami, padahal orang itu bekerja dengan pekerjaan yang halal dan haram.
Apakah (Kami) boleh makan dari hadiah ini ? Jika ke rumahnya, apakah (Kami) boleh memakan makanannya, sedang orang itu diharapkan kebaikannya ? 

Beliau menjawab,

  • ✒Pertama, yang menjadi ukuran adalah pekerjaan halal atau haram yang mendominasi pada orang ini. Maka, yang dominan tersebut akan menjadi hukumnya. Jika yang mendominasi adalah yang halal, (harta)nya adalah halal, tetapi bila yang mendominasi adalah yang haram, (harta)nya adalah haram.
  • ✒Kedua, anggaplah harta itu haram, seperti (harta) pimpinan bank atau pegawai lain yang tidak berpenghasilan lain, kecuali harta yang haram ini. Pertanyaan kami arahkan kepada orang seperti ini (si penanya). Jawabannya adalah bahwa siapa saja yang memakan dari makanan (orang tersebut) atau menerima hadiah (orang tersebut), hal itu dilihat kepada niatnya, (yaitu) niat orang yang memakan dan menerima hadiah. Apabila dia tidak menghendaki (apa-apa), kecuali bagian dunia dan hasil keduniaan, hal ini tidak di perbolehkan. (Namun), Apabila yang dia kehendaki adalah sebagai perantara dan wasilah untuk menyampaikan nasihat agar orang tersebut memperbaiki pekerjaannya, hal tersebut adalah perkarah yang diperbolehkan karena (adanya) maslahat yang hendak dicapai.  Kita mengetahui bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam memakan dari makanan kaum musyrikin selama tidak adahal yang haram secara syara` . (Juga) beliau memakan dari makanan Ahlul Kitab. Kisah perempuan Yahudi yang menyuguhkan lengan kambing untuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, padahal (perempuan) itu telah menyelipkan racun pada (kambing) itu (juga) merupakan (kisah) yang dimaklumi.  Kisah tersebut shahih. Nabi shallallâhu‘alaihi wa sallam tidak membersihkan dirinya dari memakan makanan perempuan Yahudi ini.  Kalau demikian, apabila seorang muslim makandari makanan orang yang berpenghasilan haram, dan yang dikehendaki (oleh muslim tersebut) bukanlah harta, tetapi pendekatan kepada orang ini, itu bertujuan mendekatkannya kepada amar ma’ruf dan nahi mungkar.

[Silsilah Al-Hudâ Wan Nur , kasetno. 428] 
➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡➡

[1] Ahkâm Al-Mal Al-Haram hal.40-43 karya Dr. ‘Abbâs Al-Bâz,Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah pada pembahasan“ Kasb ” dan pembahasan “ Mâl”,serta Majmû’ Fatâwâ Wa Rasâ`ilIbnu ‘Utsaimin 10/937-938.
[2] Sebagaimana yang tersebut dalam Jâmi’ Al-‘Ulûm wa Al-Hikâm hal. 138 karya Ibnu RajabAl-Hanbaly rahimahullâh .
[3] Jâmi’ Al-‘Ulûm wa Al-Hikâmhal. 138.
[4] Jâmi’ Al-‘Ulûm wa Al-Hikâmhal. 137.
[5] Dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidy, An-Nasâ`iy, Al-Hâkim,dan selainnya dari Al-Hasan binAli hafizhahullâh.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari An-Nu’mân binAl-Basyîr radhiyallâhu ‘anhu .
[7] Diriwayatkan oleh Muslim dari An-Nawwas bin As-Sim’ân radhiyallâhu ‘anhu. 

 ▁▂▃▄▅▆▇Dzulqarnain M_Sunusi▇▆▅▄▃▂▁




Beberapa Kesalahan dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan

Mar 29 / th, 2012 @
 


   Berikut beberapa kesalahan yang tidak jarang dijumpai di tengah masyarakat.

Kami mengingatkan hal tersebut pada akhir buku ini agar setiap muslim dan muslimah menghindarinya.

Pertama : 
Menentukan Masuknya Ramadhan dengan Ilmu Falak
Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab adalah kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan,

ﻓَﻤَﻦْ ﺷَﻬِﺪَ ﻣِﻨْﻜُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻬْﺮَ ﻓَﻠْﻴَﺼُﻤْﻪُ.

“Maka, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185]
Juga dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺻُﻮﻣُﻮﺍ ﻟِﺮُﺅْﻳَﺘِﻪِ ﻭَﺃَﻓْﻄِﺮُﻭﺍ ﻟِﺮُﺅْﻳَﺘِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻏُﻤِّﻰَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻬْﺮُ ﻓَﻌُﺪُّﻭﺍ ﺛَﻼَﺛِﻴﻦَ

“Berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut dan berbukalah kalian karena melihat (hilal) tersebut.
Apabila tertutupi dari (pandangan) kalian, sempurnakanlah bulan (Sya’ban) menjadi tiga puluh (hari).”
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan hal melihat/menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan hal menghitung, menghisab, dan selainnya.

Kedua: 
Mempercepat Waktu Sahur Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengakhirkan waktu sahurnya sebagaimana penjelasan yang telah berlalu.

Ketiga: 
Menjadikan Tanda Imsak Sebagai Batasan Waktu Sahur
Sering terdengar saat Ramadhan, bunyi-bunyian yang dijadikan sebagai tanda imsak (imsak sendiri berarti menahan , yaitu menahan diri dari makan, minum, jima’, dan berbagai pembatal puasa lain), seperti suara sirine, ayam berkokok, dan beduk, yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. 

Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah, sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan,

ﻭَﻛُﻠُﻮﺍ ﻭَﺍﺷْﺮَﺑُﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘَﺒَﻴَّﻦَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺨَﻴْﻂُ ﺍﻟْﺄَﺑْﻴَﺾُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻴْﻂِ ﺍﻟْﺄَﺳْﻮَﺩِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﺛُﻢَّ
ﺃَﺗِﻤُّﻮﺍ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ .

“Dan makan dan minumlah kalian hingga tampak, bagi kalian, benang putih terhadap benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” [Al-Baqarah: 187]

Dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim,

 Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyatakan,

ﺇِﻥَّ ﺑِﻼَﻻً ﻳُﺆَﺫِّﻥُ ﺑِﻠَﻴْﻞٍ ﻓَﻜُﻠُﻮﺍ ﻭَﺍﺷْﺮَﺑُﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺴْﻤَﻌُﻮﺍ ﺗَﺄْﺫِﻳﻦَ ﺍﺑْﻦِ ﺃُﻡِّ ﻣَﻜْﺘُﻮﻡٍ

“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa akhir waktu sahur adalah adzan kedua, yaitu adzan shalat Shubuh.
 Seharusnya, inilah pegangan kaum muslimin,
yaitu menjadikan adzan Shubuh sebagai batas waktu terakhir makan sahur dan meninggalkan penggunaan tanda imsak, yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Keempat : 
Melafazhkan Niat Puasa saat Makan Sahur.
Hal ini juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, tetapi bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana penjelasan kami. 
  Selain itu, pelafazhan niat juga perkara baru dalam agama ini
yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Kelima : 
Meninggalkan Hal Berkumur-kumur dan Meng­hirup Air ketika Berwudhu.
Hal ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi pada kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa hal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa, padahal hal tersebut merupakan perkara yang disunnahkan dalam hal berwudhu menurut pandangan syariat Islam sebagaimana yang telah dijelaskan.

Keenam: 
Anggapan bahwa Tidak boleh Menelan Ludah ,
Pada kaum muslimin, kita kadang mendapati anggapan bahwa seseorang tidak boleh menelan ludah saat ber­puasa, sehingga kita kadang mendapati sebagian kaum muslimin sering meludah saat berpuasa. Maka, tidaklah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan pembebanan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam syariat Islam.

Ketujuh : 
Mengakhirkan Buka Puasa.
Hal ini juga adalah kesalahan yang banyak terjadi pada kaum muslimin, padahal tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah jelas akan kesunnahan mempercepat buka puasa bila masuknya waktu berbuka telah pasti sebagaimana penjelasan kami.

Kedelapan : 
Menghabiskan Waktu dengan Perkara Yang Sia-Sia saat Ramadhan

Kesembilan : 
Ragu Mencicipi Makanan.
Hal tersebut adalah kesalahan, padahal boleh sepanjang seseorang dapat menjaga agar tidak menelan makanan tersebut sebagaimana keterangannya telah berlalu.

Kesepuluh : 
Lalai pada Akhir Ramadhan,
Adalah kesalahan, menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan rumah tangga yang mungkin dikerjakan pada waktu lain sehingga melalaikan seseorang terhadap berbagai ibadah Ramadhan, khususnya pada sepuluh hari terakhir.


Kesebelas:
Anggapan Bahwa Tunggakan Ramadhan,
Menjadi Dua Kali Lipat Bila Diundur Hingga Ramadhan Berikutnya Keyakinan bahwa seseorang yang mengundur dalam hal mengqadha tunggakan puasa sampai setelah Ramadhan, tunggakan puasanya menjadi dua kali lipat merupakan kesalahan karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan hal tersebut. 
Kami telah menerangkan rincian tentang orang yang mengundur qadha tunggakan puasanya.

Kedua Belas : 
Pembayaran Fidyah terhadap Puasa yang Belum Ditinggalkan
Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa Ramadhan adalah kesalahan, seperti perempuan hamil yang merencanakan untuk tidak berpuasa Ramadhan, lalu sebelum Ramadhan atau pada awal Ramadhan, dia membayar fidyah untuk tiga puluh hari. 
Tentunya, hal ini adalah perkara yang salah karena kewajiban pembayaran fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.

▁▂▃▄▅▆▇Dzulqarnain M.Sunusi▇▆▅▄▃▂▁































.

Rabu, 26 Februari 2014

Kiat-Kiat Agar Mudah Mengerjakan Sholat Malam

Apr 3 / Thn, 2012

▁▂▃▄▅▆▇███Ust Dzulqarnain███▇▆▅▄▃▂▁ 




               Berikut beberapa kiat yang, insya Allah, sangat memudahkan seorang hamba untuk melaksanakan shalat malam.

✔Pertama : 
Mengikhlashkan amalan hanya untuk Allah sebagaimana Dia telah memerintahkan dalam firman-Nya,

ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻣِﺮُﻭﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻴَﻌْﺒُﺪُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣُﺨْﻠِﺼِﻴﻦَ ﻟَﻪُ ﺍﻟﺪِّﻳﻦَ ﺣُﻨَﻔَﺎﺀَ ﻭَﻳُﻘِﻴﻤُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻭَﻳُﺆْﺗُﻮﺍ ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَ
ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﺩِﻳﻦُ ﺍﻟْﻘَﻴِّﻤَﺔِ.

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (hal menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” [ Al-Bayyinah: 5 ]

✔Kedua:
Mengetahui keutamaan qiyamul lail dan kedudukan orang-orang yang mengerjakan ibadah tersebut di sisi Allah Ta’ala .
Hal tersebut karena siapa saja yang mengetahui keutamaan ibadah shalat malam, dia akan bersemangat untuk bermunajat kepada Rabb-nya dan bersimpuh dengan penuh penghambaan kepada-Nya.
Hal ini tentunya dengan mengingat semua keutamaan yang telah diterangkan pada awal pembahasan buku ini.

✔Ketiga:
Meninggalkan dosa dan maksiat karena dosa dan maksiat akan memalingkan hamba dari kebaikan.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Apabila tidak mampu mengerjakan shalat malam dan puasa pada siang hari, engkau adalah orang yang terhalang dari (kebaikan) lagi terbelenggu. Dosa-dosamu telah membelenggumu.” [1]

✔Keempat :
Menghadirkan di dalam diri bahwa Allah yang menyuruhya untuk menegakkan shalat malam itu.
Bila seorang hamba menyadari bahwa Rabb -nya, yang Maha Kaya lagi tidak memerlukan sesuatu apapun dari hamba, telah memerintahnya untuk mengerjakan shalat malam itu, hal itu tentu menunjukkan anjuran yang sangat penting bagi hamba guna mendapatkan kebaikan untuk dirinya sendiri. 
Bukankah Allah telah menyeru Nabi shallalla hu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau dalam firman-Nya,

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟْﻤُﺰَّﻣِّﻞُ . ﻗُﻢِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞَ ﺇِﻟَّﺎ ﻗَﻠِﻴﻠًﺎ. ﻧِﺼْﻔَﻪُ ﺃَﻭِ ﺍﻧْﻘُﺺْ ﻣِﻨْﻪُ ﻗَﻠِﻴﻠًﺎ . ﺃَﻭْ ﺯِﺩْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺭَﺗِّﻞِ
ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺗَﺮْﺗِﻴﻠًﺎ.

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk mengerjakan shalat) pada malam hari, kecuali sedikit (dari malam itu), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua itu, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur`a n itu dengan perlahan-lahan.” [Al-Muzzammil:1-4]

✔Kelima :
Memperhatikan keadaan kaum salaf dan orang-orang shalih terdahulu, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan setelahnya, tentang keseriusan mereka dalam hal mendulang pahala shalat malam ini.
Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah penasihat untuk kalian lagi orang yang sangat mengasihi kalian, kerjakanlah shalat oleh kalian pada kegelapan malam guna kengerian (alam) kuburan, berpuasalah di dunia untuk terik panas hari kebangkitan, dan bersedekahlah sebagai rasa takut terhadap hari yang penuh dengan kesulitan.

 Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah penasihat untuk kalian lagi orang yang sangat mengasihi kalian.” [2]

Tsabit bin Aslam Al-Bunany rahimahulla h berkata, “Tidak ada hal lezat yang saya temukan dalam hatiku melebihi qiyamul lail.” [3]

Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata, “Apabila malam hari datang, saya pun bergembira. Bila siang hari datang, saya bersedih.” [4]

Hisyam bin Abi Abdillah Ad-Dastuwa`iy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang menolak tidur pada malam hari karena mengkhawatirkan kematian saat mereka tidur.” [5]

Abu Sulaiman Ad-Da rany rahimahulla h berkata, “Ahli ketaatan merasa lebih lezat dengan malam hari mereka daripada orang yang lalai dengan kelalaiannya.
Andaikata bukan karena malam hari, niscaya saya tidak suka tetap hidup di dunia.” [6]

Ketika Yazi d Ar-Raqasy rahimahulla h mendekati ajalnya, tampak tangisan dari beliau. Saat ditanya,  “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab,
“Demi Allah, saya menangisi segala hal yang telah saya telantarkan berupa shalat lail dan puasa pada siang hari.” Beliau juga berkata, “… Wahai saudara-saudaraku, janganlah kalian tertipu dengan waktu muda kalian. 
Sungguh, bila sesuatu yang menimpaku, berupa kedahsyatan perkara (kematian) dan beratnya kepedihan maut, telah menimpa kalian, pastilah (kalian) hanya (akan berpikir) untuk keselamatan dan keselamatan, untuk kehati-hatian dan kehati-hatian. Bersegeralah, wahai saudara-saudaraku –semoga Allah merahmati kalian-.” [7]

Ishaq bin Suwaid Al-Bashry rahimahulla h berkata, “Mereka (para Salaf) memandang bahwa tamasya (itu) adalah dengan berpuasa pada siang hari dan mengerjakan shalat pada malam hari.” [8]

Adalah Malik bin Dinar rahimahullah tidak tidur pada malam hari. Ketika ditanya, “Mengapa saya melihat manusia tidur pada malam hari, sedangkan engkau tidak?” Beliau menjawab, “Ingatan tentang neraka Jahannam tidak membiarkan aku untuk tidur.” [9]

Mu’adzah bintu Abdillah rahimahallah -yang menghidupkan malamnya dengan mengerjakan ibadah-berkata, “Saya takjub kepada mata (seseorang) yang tertidur, sedang dia mengetahui akan panjangnya tidur pada kegelapan kubur.” [10]

✔Keenam:
Mengenal semangat syaithan untuk memalingkan manusia dari qiyamul lail. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻳَﻌْﻘِﺪُ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺎﻓِﻴَﺔِ ﺭَﺃْﺱِ ﺃَﺣَﺪِﻛُﻢْ ﺛَﻼَﺙَ ﻋُﻘَﺪٍ ﺇِﺫَﺍ ﻧَﺎﻡَ ﺑِﻜُﻞِّ ﻋُﻘْﺪَﺓٍ ﻳَﻀْﺮِﺏُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﻟَﻴْﻼً ﻃَﻮِﻳﻼً ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻴْﻘَﻆَ ﻓَﺬَﻛَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺍﻧْﺤَﻠَّﺖْ ﻋُﻘْﺪَﺓٌ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﺍﻧْﺤَﻠَّﺖْ ﻋُﻘْﺪَﺗَﺎﻥِ ﻓَﺈِﺫَﺍ
ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻧْﺤَﻠَّﺖِ ﺍﻟْﻌُﻘَﺪُ ﻓَﺄَﺻْﺒَﺢَ ﻧَﺸِﻴﻄًﺎ ﻃَﻴِّﺐَ ﺍﻟﻨَّﻔْﺲِ ﻭَﺇِﻻَّ ﺃَﺻْﺒَﺢَ ﺧَﺒِﻴﺚَ ﺍﻟﻨَّﻔْﺲِ ﻛَﺴْﻼَﻥَ

“Syaithan mengikat tengkuk kepala salah seorang dari kalian sebanyak tiga ikatan ketika orang itu sedang tidur. Dia memukul setiap tempat ikatan (seraya berkata), ‘Malam yang panjang atas engkau, maka tidurlah.
’ Apabila orang itu bangun kemudian menyebut nama Allah, terlepaslah satu ikatan. Apabila orang itu berwudhu, terlepaslah satu ikatan (yang lain). Apabila orang itu mengerjakan shalat, terlepaslah seluruh ikatannya. Orang itupun berada pada pagi hari dengan semangat dan jiwa yang baik. 
Kalau tidak (mengerjakan amalan-amalan tadi), orang itu akan berada pada pagi hari dalam keadaan jiwa yang jelek dan pemalas.” [11]

✔Ketujuh :
Memendekkan angan-angan dan banyak mengingat kematian. Ini adalah kaidah yang akan memacu semangat hamba dalam pelaksanaan ketaatan dan menghilangkan rasa malas. 
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma , beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang bahuku seraya berkata,

ﻛُﻦْ ﻓِﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻛَﺄَﻧَّﻚَ ﻏَﺮِﻳﺐٌ ، ﺃَﻭْ ﻋَﺎﺑِﺮُ ﺳَﺒِﻴﻞٍ

'Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau pengembara yang sekadar berlalu.’ .”
Adalah Ibnu Umar berkata setelah itu, “Apabila berada pada waktu sore, janganlah engkau menunggu waktu pagi, dan, jika engkau berada pada waktu pagi, janganlah engkau menunggu waktu sore. 
  Ambillah dari waktu sehatmu untuk waktu sakitmu, dan ambillah dari kehidupanmu untuk kematianmu.” [12]

✔Kedelapan :
Mengingat nikmat kesehatan dan waktu luang. Rasulullah shallalla hu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻧِﻌْﻤَﺘَﺎﻥِ ﻣَﻐْﺒُﻮﻥٌ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ ﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ، ﺍﻟﺼِّﺤَّﺔُ ﻭَﺍﻟْﻔَﺮَﺍﻍُ

“Dua nikmat yang banyak manusia melalaikannya:
kesehatan dan waktu luang.” [13]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma , dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , Rasulullah bersabda kepada seorang lelaki sembari menasihati lelaki tersebut,

ﺍﻏْﺘَﻨِﻢْ ﺧَﻤْﺴًﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﺧَﻤْﺲٍ : ﺷَﺒَﺎﺑَﻚَ ﻗَﺒْﻞَ ﻫَﺮَﻣِﻚَ ، ﻭَﺻِﺤَﺘَﻚَ ﻗَﺒْﻞَ ﺳَﻘَﻤِﻚَ ، ﻭَﻏِﻨَﺎﻙَ ﻗَﺒْﻞَ
ﻓَﻘْﺮِﻙَ ، ﻭَﻓَﺮَﺍﻏَﻚَ ﻗَﺒْﻞَ ﺷُﻐْﻠِﻚَ ، ﻭَﺣَﻴَﺎﺗَﻚَ ﻗَﺒْﻞَ ﻣَﻮْﺗِﻚَ

“Manfaatkan lima perkara dengan segera sebelum (datang) lima perkara; waktu mudamu sebelum (datang) waktu tuamu, kesehatanmu sebelum (datang) sakitmu, kekayaanmu sebelum (datang) kefakiranmu, waktu luangmu sebelum (datang) waktu sibukmu, dan kehidupanmu sebelum (datang) kematianmu.” [14]

✔Kesembilan :
Segera tidur pada awal malam.
 Dalam hadits Abi Barzakh radhiyalla hu ‘anhu, beliau berkata,

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻳَﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡَ ﻗَﺒْﻠَﻬَﺎ ﻭَﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚَ ﺑَﻌْﺪَﻫَﺎ

“Adalah (Rasulullah) membenci tidur sebelum (mengerjakan shalat) Isya dan berbincang-bincang setelah (mengerjakan shalat Isya) tersebut.” [15]

✔Kesepuluh :
Menjaga etika-etika tidur yang dituntunkan oleh Rasulullah shallalla hu ‘alaihi wa sallam, seperti tidur dalam keadaan berwudhu, membaca “tiga qul” 
(yakni surah Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas),
ayat kursi, dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah, dzikir-dzikir yang disyariatkan untuk dibaca ketika tidur, serta tidur dengan bertumpu di atas rusuk kanan.

Kesebelas :
Menghindari berbagai sebab yang mungkin melalaikan seorang hamba terhadap shalat malamnya.
Para ulama menyebutkan bahwa di antara sebab tersebut adalah terlalu banyak makan dan minum, terlalu meletihkan diri pada siang hari dengan berbagai amalan yang tidak bermanfaat, tidak melakukan qailulah (tidur siang), dan selainnya.

███ Demikian beberapa pembahasan berkaitan dengan tuntunan Qiyamul Lail dan shalat Tarawih.

 Mudah-Mudahan Risalah Ini Bermanfaat Untuk Seluruh Kaum Muslimin Dan Bisa Menjadi Pedoman Dalam Hal Menghidupkan Malam-Malam Penuh Berkah pada Bulan Ramadhan Dan Seluruh Bulan Lain.    Ami n, Ya Rabbal 'Alamin. 

➡Wallahu Ta’ala A’lam .
 ↓ 
[1] Al-Hilyah karya Abu Nu’aim 8/96.
[2] Az-Zuhd karya Al-Imam Ahmad hal. 148 -dengan perantaraan Ruhbanul Lail 1/328-.
[3] Lihatlah Sifat Ash-Shafwah 2/262 karya Ibnul Jauzy.
[4] Bacalah Al-Jahr wa At-Ta’dil 1/85 karya Ibnu Abi Hatim.
[5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya , dalam Kita b At-Tahajjud wa Qiya mil Lail no. 61, dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, sebagaimana dalam Mukhtashar Qiya mul Lail hal. 57.
[6] Disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/275, Ibnul Jauzy dalam Sifa t Ash-Shafwah 2/262, dan Al- Khathib dalam Tarikh Baghdad 10/248.
[7] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asa kir dalam Tarikh -nya 65/92.
[8] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Kita b At- Tahajjud wa Qiya mil Lail no. 35.
[9] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya , dalam Kita b At-Tahajjud wa Qiya mil Lail no. 59, dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazy, sebagaimana dalam Mukhtashar Qiya mul Lail hlm. 76.
[10] Siyar A’lam An-Nubala ` 4/509.
[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukha ry, Muslim, Abu Daw ud, An-Nasa `iy, dan Ibnu Majah.
[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukha ry, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah, hanya saja Ibnu Majah tidak menyebutkan ucapan Ibnu ‘Umar. Selain itu, ada tambahan pada akhir riwayat hadits beliau, “… dan hitunglah dirimu dari penghuni kubur.”
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.
[14] Diriwayatkan oleh Al-Ha kim dan selainnya. Dishahihkan oleh Al-Albany.
[15] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.

▁▂▃▄▅▆▇ Ust Dzulqarnain ▇▆▅▄▃▂▁





Selasa, 25 Februari 2014

DERAJAT HADITS SHOLAT TASBIH



Ustadz Luqman Jamal, Lc

PERTANYAAN

Sering terdengar, bahkan pernah terlihat, bahwa ada kaum muslimin yang melakukan shalat tasbih pada
malam-malam tertentu, khususnya malam Jum’at. Apakah hal ini ada dasarnya dari Al-Qur`ân dan sunnah?

JAWABAN

Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang shalat tasbih:

Hadits Pertama
Hadits Ibnu ‘Abbâs,

ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻠْﻌَﺒَّﺎﺱِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻤُﻄَّﻠِﺐِ ﻳَﺎ ﻋَﺒَّﺎﺱُ ﻳَﺎ ﻋَﻤَّﺎﻩْﺃَﻻَ ﺃُﻋْﻄِﻴْﻚَ ﺃَﻻَ ﺃُﻣْﻨِﺤُﻚَ ﺃَﻻَ ﺃُﺣِﺒُّﻮْﻙَ ﺃَﻻَ ﺃَﻓْﻌَﻞُ ﺑِﻚَ ﻋَﺸْﺮَ ﺧِﺼَﺎﻝٍﺇِﺫَﺍ ﺃَﻧْﺖَ ﻓَﻌَﻠْﺖَ ﺫَﻟِﻚَ ﻏَﻔَﺮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻚَ ﺫَﻧْﺒَﻚَ ﺃَﻭَّﻟَﻪُ ﻭَﺁﺧِﺮَﻩُ ﻗَﺪِﻳْﻤَﻪُﻭَﺣَﺪِﻳْﺜَﻪُ ﺧَﻄْﺄَﻩُ ﻭَﻋَﻤْﺪَﻩُ ﺻَﻐِﻴْﺮَﻩُ ﻭَﻛَﺒِﻴْﺮَﻩُ ﺳِﺮَّﻩُ ﻭَﻋَﻼَﻧِﻴَّﺘَﻪُ ﻋَﺸَﺮَﺧِﺼَﺎﻝٍ ﺃَﻥْ ﺗُﺼَﻠِّﻲَ ﺃَﺭْﺑَﻊَ ﺭَﻛْﻌَﺎﺕٍ ﺗَﻘْﺮَﺃُ ﻓِﻲْ ﻛُﻞِّ ﺭَﻛْﻌَﺔٍ ﻓَﺎﺗِﺤَﺔَﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭِﺳُﻮْﺭَﺓً ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻓَﺮَﻏْﺖَ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻘُﺮْﺍﺀَﺓِ ﻓِﻲْ ﺃَﻭَّﻝِ ﺭَﻛْﻌَﺔٍﻭَﺃَﻧْﺖَ ﻗَﺎﺋِﻢٌ ﻗُﻠْﺖَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﺧَﻤْﺲَ ﻋَﺸَﺮَﺓَ ﻣَﺮَّﺓً ﺛُﻢَّ ﺗَﺮْﻛَﻊُ ﻓَﺘَﻘُﻮْﻟُﻬَﺎ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺍﻛِﻊٌﻋَﺸَﺮًﺍ ﺛُﻢَّ ﺗَﺮْﻓَﻊُ ﺭَﺃْﺳَﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮْﻉِ ﻓَﺘَﻘُﻮْﻟُﻬَﺎ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﺛُﻢَّ ﺗّﻬْﻮِﻱْﺳَﺎﺟِﺪًﺍ ﻓَﺘَﻘُﻮْﻟُﻬَﺎ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺳَﺎﺟِﺪٌ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﺛُﻢَّ ﺗَﺮْﻓَﻊُ ﺭَﺃْﺳَﻚَ ﻣِﻦَﺍﻟﺴُّﺠُﻮْﺩِ ﻓَﺘَﻘُﻮْﻟُﻬَﺎ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﺛُﻢَّ ﺗَﺴْﺠُﺪُ ﻓَﺘَﻘُﻮْﻟُﻬَﺎ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﺛُﻢَّ ﺗَﺮْﻓَﻊُﺭَﺃْﺳَﻚَ ﻓَﺘَﻘُﻮْﻟُﻬَﺎ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻓَﺬَﻟِﻚَ ﺧَﻤْﺲٌ ﻭَﺳَﺒْﻌُﻮْﻥَ ﻓِﻲْ ﻛُﻞِّ ﺭَﻛْﻌَﺔٍﺗَﻔْﻌَﻞُ ﺫَﻟِﻚَ ﻓِﻲْ ﺃَﺭْﺑَﻊِ ﺭَﻛْﻌَﺎﺕٍ ﺇِﻥِ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺖَ ﺃَﻥْ ﺗُﺼَﻠِّﻴَﻬَﺎ ﻓِﻲْﻛُﻞِّ ﻳَﻮْﻡٍ ﻣَﺮَّﺓً ﻓَﺎﻓْﻌَﻞْ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻔْﻌَﻞْ ﻓَﻔِﻲْ ﻛُﻞِّ ﺟُﻤْﻌَﺔٍ ﻣَﺮَّﺓًﻓَﺈِﻥْ ﻟََﻢْ ﺗَﻔْﻌَﻞْ ﻓَﻔِﻲْ ﻛُﻞِّ ﺷَﻬْﺮٍ ﻣَﺮَّﺓً ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻔْﻌَﻞُ ﻓَﻔِﻲْ ﻛُﻞِّﺳَﻨَﺔِ ﻣَﺮَّﺓً ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻔْﻌَﻞْ ﻓَﻔِﻲْ ﻋُﻤْﺮِﻙَ ﻣَﺮَّﺓً

“Dari Ibnu ‘Abbâs, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, ‘Wahai ‘Abbas, wahai pamanku, maukah saya berikan padamu? maukah saya anugerahkan padamu? maukah saya berikan padamu? saya akan tunjukkan suatu perbuatan yang mengandung 10 keutamaan, yang jika kamu melakukannya maka diampuni dosamu, yaitu dari awalnya hingga akhirnya, yang lama maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang nampak. Semuanya 10 macam.
Kamu shalat 4 rakaat.
Setiap rakaat kamu membaca Al-Fatihah dan satu surah. Jika telah selesai, maka bacalah Subhanallâhi wal hamdulillâhi wa lâ ilâha illallâh wallahu akbar sebelum ruku’ sebanyak 15 kali,
kemudian kamu ruku’ lalu bacalah kalimat itu di dalamnya sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari ruku’
baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud lagi dan baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud sebelum berdiri baca lagi sebanyak 10 kali, maka semuanya sebanyak 75 kali setiap rakaat. Lakukan yang demikian itu dalam empat rakaat.
Lakukanlah setiap hari, kalau tidak mampu lakukan setiap pekan, kalau tidak mampu setiap bulan, kalau tidak mampu setiap tahun dan jika tidak mampu maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu.’.”

Hadits ini mempunyai empat jalan:

Pertama , dari jalan Al-Hakam bin Abân, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbâs, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbâs bin ‘Abdil Muththalib …, kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Dikeluarkan oleh Abu Dâud 2/29 no. 1297, Ibnu Mâjah 2/158-159 no. 1387, Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahîh -nya 2/223-224 no. 1216, Al-Hâkim 1/627-628 no. 1233-1234, Al-Baihaqy 3/51-52, Ath-Thabarâny 11/194-195 no. 11622, Ad-Dâraquthny sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/37, Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Maudhuât 2/143-144, Al-Hasan bin ‘Ali Al-Ma’mari dalam kitab Al-Yaum Wal Laila , Al-Khalily dalam Al-Irsyâd 1/325 no. 58, dan Ibnu Syâhîn dalam At-Targhib Wa At-Tarhib sebagaimana dalam kitab Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/39.
Seluruhnya dari jalan ‘Abdurrahman bin Bisyr bin Al-Hakam Al-‘Abdi, dari Abi Syu’aib Musa bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Qinbâry, dari Al-Hakam bin Abân …, dan seterusnya.

Berkata Az-Zarkasyi dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/44, “Telah meriwayatkan dari Musa bin ‘Abdil ‘Aziz, Bisyr bin Al-Hakam serta anaknya, Abdurrahman, Ishâq bin Abi Isrâil, Zaid bin Mubârak Ash-Shan’âny dan selain mereka.” (dinukil dengan sedikit perubahan).

Saya berkata, “Riwayat Ishâq bin Abi Isrâil dikeluarkan oleh Al-Hâkim 1/628 no. 1234 dan Ibnu Syâhîn dalam At-Targhib Wa At-Tarhib sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/39.”

Komentar Para Ulama Tentang Musa Bin ‘Abdil ‘Aziz Berkata Ibnu Ma’in tentangnya, “ Lâ Arâ bihi ba’san (dalam pandangan saya dia tidak apa-apa).” Berkata An-Nasâ`i, “ Lâ ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).” Ibnu Hibbân menyebutkan dalam Ats-Tsiqât dan dia berkata, “ Rubbamâ akhtha’ (kadang-kadang bersalah).” Berkata Ibnu Al-Madiny, “Dha’if (lemah).” Berkata As-Sulaimâny, “ Mungkarul hadits (mungkar haditsnya).”
Lihat At-Tahdzib Wat Tahdzib .

Imam Muslim bin Al-Hajjâj berkata, “Saya tidak melihat sanad hadits yang lebih baik dari hadits ini. ”Diriwayatkan oleh Al-Khalily dalam Al-Irsyâd 1/327, Al Baihaqy, dan selain keduanya.
Yang nampak dari komentar para ulama di atas bahwasanya hadits beliau itu tidaklah turun dari derajat hasan. 
Karena itulah, kedudukan hadits ini adalah hasan. Wallâhu A’lam .

Catatan Penting

Terdapat riwayat dari jalan Muhammad bin Râfi’, dari Ibrâhim bin Al-Hakam bin Abân, bahwa dia berkata, “Menceritakan kepada saya ayahku, dari ‘Ikrimah, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda …,” kemudian dia menyebutkan haditsnya secara mursal (seorang tabiin meriwayatkan langsung dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tetapi ia tidak mendengar dari beliau).
Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh -nya 2/224, Al-Hâkim 1/628, Al-Baihaqy 3/53 dan dalam Syu’abul Îmân 125 no. 3080, serta Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 4/156-157 no. 1018. 

Saya berkata, “Riwayat ini tidaklah membahayakan riwayat Musa bin ‘Abdil ‘Aziz karena komentar para ulama terhadap Ibrahim bin Hakam sangat keras, dan yang nampak bagi yang memperhatikan komentar para ulama tersebut bahwasanya dia adalah dha’if, tidak dipakai sebagai pendukung.
Terlebih lagi telah terdapat riwayat-riwayat yang mungkar dalam riwayat bapaknya dari jalannya (Ibrâhim bin Al-Hakam).”
Berangkat dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa penyelisihan yang dilakukan oleh Ibrâhim bin Al-Hakam yang meriwayatkan secara mursal kemudian menyelisihi riwayat Musa bin ‘Abdil ‘Aziz yang meriwayatkan secara maushul (bersambung) tidaklah berpengaruh.

Bersamaan dengan itu, Ibrâhim bin Al-Hakam telah guncang dalam riwayatnya, karena kadang-kadang dia meriwayatkan secara mursal, sebagaimana dalam riwayat Muhammad bin Râfi’ ini, dan kadang-kadang dia meriwayatkannya secara maushul, sebagaimana dalam riwayat Ishâq bin Râhaway yang dikeluarkan oleh Hâkim 1/628 no. 1235 dan Baihaqy dalam Syu’abul Îmân 125-126 no. 3080.

Dari sini diketahui pula bahwasanya tidak perlu bagi Imam Al-Baihaqy, dalam Syu’abul Îmân 3/126, untuk berkata, “Yang benar adalah riwayat secara mursal,” karena perselisihan riwayat yang berasal dari Ibrâhim bin Al-Hakam ini menunjukkan keguncangan dalam riwayatnya, sehingga semakin jelas menunjukkan lemahnya orang ini.

Demikian kaidah para ulama menanggapi rawi yang seperti ini, sebagaimana yang tersebut dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy oleh Ibnu Rajab dan yang lainnya.
Wallâhu A’lam .

Kedua , dari jalan ‘Abdul Quddûs bin Habîb, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya…, kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 3/14-15 no. 2318 dan Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 1/25-26. Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar, “Abdul Quddûs sangat lemah dan dinyatakan berdusta oleh sebagian imam.” Baca Al-Futûhât Ar-Rabbâniyah 4/311 dan Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/40. Lihat pula Mizânul I’tidâl .

Ketiga , dari jalan Nâfi’ bin Hurmuz Abu Hurmuz, dari Atha’, dari Ibnu ‘Abbâs.
Dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny 11/130 no. 11365. Berkata Al-Hâfidz sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 1/39-40, “Rawi-rawinya terpercaya kecuali Abu Hurmuz. Dia matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya).” Lihat Mizânul I’tidâl .

Keempat , dari jalan Yahya bin ‘Uqbah bin Abi Al-‘Aizâr, dari Muhammad bin Jahâdah, dari Abi Al-Jauzâ`i, dari Ibnu ‘Abbâs.
Dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 3/187 no. 2879. Berkata Al-Hâfidz, “Semua rawinya terpercaya kecuali Yahya bin ‘Uqbah. Dia matrûk (haditsnya ditinggalkan).” Saya berkata, “Bahkan Ibnu Ma’in berkata (tentang Yahya bin ‘Uqbah), ‘Kadzdzâbun Khabîts (pendusta yang sangat hina).’.” Lihat Mizânul I’tidâl .

Hadits Kedua 

Hadits Abu Râfi’, maula Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam .
Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjah 2/157-159 no. 1386, Tirmidzy 2/350-351 no. 482, Abu Bakar bin Abi Syaibah sebagaimana dalam Ajwibah Al-Hâfidz Ibnu Hajar ‘Alâ Ahâdits Al Mashâbîh 3/1781 dari Misykatul Mashâbih , Ad-Dâraquthny dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/38, Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhu’ât 2/144, dan Abu Nu’aim dalam Qurbân Al-Muttaqîn sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41. 

Seluruhnya dari jalan Zaid bin Al-Hibbân Al-‘Uqly, dari Musa bin ‘Abîdah, dari Sa’id bin Abi Sa’id maula Abu Bakr bin ‘Amr bin Hazm, dari Abu Râfi’, bahwa dia berkata,
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-Abbâs…,” kemudian dia menyebutkan haditsnya. Saya berkata, “Dalam sanadnya ada dua cacat: Musa bin ‘Abîdah yaitu Ar-Rabâdzy Al-Madany. Yang nampak bagi saya, setelah membaca komentar para ulama tentangnya, bahwa ia adalah rawi yang dha’if yang bisa dipakai sebagai pendukung apalagi dalam hadits-hadits Ar-Riqâq . Sa’id bin Abi Sa’id majhûlul hâl (tidak diketahui keadaannya).” Maka hadits ini adalah syahid (pendukung) yang sangat kuat.

Hadits Ketiga

Hadits Al Anshâry.
Dikeluarkan oleh Abu Dâud 2/48 no. 1299 dan Al Baihaqy 2/52 dari Abu Taubah Ar-Rabî’ bin Nâfi’, dari Muhammad bin Muhâjir, dari Urwah bin Ruwaim, bahwa dia berkata,
“Menceritakan kepada saya Al-Anshâry, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ja’far.,”kemudian dia menyebutkan hadits tersebut.

  Saya berkata, “ Para ulama berbeda pendapat tentang siapa Al-Anshâry ini, tetapi menurut penilaian saya, tidak ada dalil yang benar yang menjelaskan siapa Al-Anshâry ini. Mungkin ia seorang shahabat dan mungkin juga bukan.” Wallâhu A’lam .

Hadits Keempat

Hadits Al-‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib.
Dikeluarkan oleh Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Maudhu’at 2/143, dan Abu Nua’im, Ibnu Syahin dan Dâraquthny dalam Al-Afrâd sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/40.

Seluruhnya dari jalan Musa bin A’yan, dari Abu Raja’, dari Shadaqah, dari ‘Urwah bin Ruwaim, dari Ibnu Ad-Dailamy, dari Al-‘Abbâs, bahwa dia berkata, “Bersabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam …,” kemudian dia menyebutkan haditsnya. 

Berkata Al-Hâfidz tentang Shadaqah, “Dia adalah Ibnu ‘Abdillah yang dikenal dengan panggilan As-Samin .
Dia lemah dari sisi hafalannya, akan tetapi dikatakan tsiqah (terpercaya) oleh banyak ulama, maka haditsnya bisa digunakan sebagai pendukung.”
Maka dari sini diketahui salahnya sangkaan Ibnul Jauzy yang mengatakan bahwa dia adalah Al-Khurâsâny.

Adapun Abu Raja’, dia adalah ‘Abdullah bin Muhriz Al-Jazary, dan kami tidak menemukan biografinya.
Wallâhu A’lam .

Kemudian Ibnu Ad-Dailamy, dia adalah ‘Abdullah bin Fairuz, tsiqah (terpercaya), termasuk dari tabiin besar, bahkan sebagian ulama menggolongkannya sebagai shahabat.

Hadits ini mempunyai jalan lain, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Ibrâhim bin Ahmad Al-Hirqy dalam Fawâ’id -nya. Akan tetapi, dalam sanad jalan tersebut ada Hammâd bin ‘Amr An-Nashîby yang para ulama menganggap dia sebagai kadzdzâb (pendusta). Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/40.

Hadits Kelima

Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh.
Dikeluarkan oleh Abu Dâud 2/48 no.1298 dan Al-Baihaqy 3/52, dari jalan Mahdy bin Maimûn, dari ‘Amr bin Malik, dari Abu Al-Jauzâ`i, bahwa dia berkata, “Seorang laki-laki yang dia adalah shahabat, menurut mereka dia adalah ‘Abdullah bin ‘Amr, diaberkata, ‘Bersabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam …,’,”kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Berkata Abu Dâud, “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Mustamir bin Rayyân dari Abu Al-Jauzâ`i, dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara mauqûf (dari perkataan shahabat).

Diriwayatkan pula oleh Rauh bin Al-Musayyab dan Ja’far bin Sulaimân dari ‘Amr bin Malik An-Nukri, dari Abu Al-Jauzâ`i, dari perkataannya.
Dikatakan dalam hadits Rauh, bahwa ia berkata, “Hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam (yakni secara marfû’-pen-).”

Hal serupa dinyatakan pula oleh Imam Al-Baihaqy. Berkata Ibnu Hajar, “Akan tetapi perselisihan terletak pada Abu Al-Jauzâ`i. Ada yang mengatakan hadits ini darinya dari Ibnu ‘Abbâs, ada yang mengatakan darinya dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dan adapula yang mengatakan dari dia dari Ibnu ‘Umar.
Bersamaan dengan itu, ada perselisihan (dalam riwayatnya), apakah hadits ini marfû’ (sampai kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam ) atau mauqûf (sampai kepada shahabat). 
Dalam riwayat secara marfû’ juga ada perselisihan tentang kepada siapa hadits ini dikatakan, apakah kepada Al-‘Abbâs, Ja’far,‘Abdullah bin ‘Amr, atau Ibnu ‘Abbâs.

Ini adalah idhthirâb (kegoncangan) yang sangat keras, dan Ad-Dâraquthny banyak mengeluarkan jalan-jalan hadits ini dengan uraian perselisihannya.”
Lihat Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/314-315 dan Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41.

Terdapat pula jalan lain yang dikeluarkan oleh Dâraquthny dari ‘Abdullah bin Sulaimân bin Al-Asy’ats, dari Mahmûd bin Khâlid, dari seorang tsiqah (terpercaya) dari ‘Umar bin ‘Abdul Wâhid, dari Tsaubân, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya secara marfû’.

Saya berkata, “Mahmûd bin Khâlid tsiqah (terpercaya) demikian pula ‘Amr bin ’Abdul Wâhid, akan tetapi dalam sanadnya ada rawi mubham (tidak disebut namanya). Adapun Tsaubân, saya tidak mengetahui siapa dia.” Wallâhu A’lam .
Dikeluarkan pula oleh Ibnu Syâhin dari jalan yang lain, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbâs …, kemudian diamenyebutkan seperti hadits Ibnu ‘Abbâs. 
Akan tetapi hadits ini lemah.
Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41 dan Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/314-315.

Hadits Keenam

Hadits Ja’far bin Abi Thâlib.
Hadits ini mempunyai dua jalan:

Pertama , dari jalan Dâud bin Qais, dari Ismâ’il bin Râfi’, dari Ja’far, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Inginkah engkau saya berikan …’,” kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf -nya 3/123 no.5004.
Dikeluarkan pula oleh Sa’id bin Manshûr dalam As-Sunan dan Al-Khatib dalam Kitab Shalat At-Tasbih , Sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/242 dari jalan yang lain, dari Abi Ma’syar Najîh bin Abdirrahman, dari Abu Râfi’ Ismail bin Râfi’, bahwa dia berkata, “Telah sampai kepada saya bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ja’far bin Abi Thâlib ….”Saya berkata, “Ismâil bin Râfi’ dha’if (lemah haditsnya) bisa digunakan sebagai penguat. Akan tetapi hadits ini mursal sebagaimana yang kamu lihat.”

Kedua , dari jalan ‘Abdul Malik bin Hârun bin ‘Antarah, dari bapaknya, dari kakeknya, dari ‘Ali bin Ja’far, bahwa dia berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku …,” kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Dikeluarkan oleh Ad-Dâraquthny sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41-42.
Saya berkata, “Abdul Malik ini matrûk (ditinggalkan haditsnya), bahkan dianggap pendusta oleh sebagian ulama dan dituduh memalsukan hadits.” Baca Mizânul I’tidâl .

Hadits Ketujuh

Hadits Al Fadhl bin ‘Abbâs.
Dikeluarkan Abu Nu’aim dalam Qurbân Al-Muttaqîn dari riwayat Musa bin Ismâ’il, dari ‘Abdil Hamîd bin Abdurrahman Ath-Thâ`iy, dari bapaknya, dari Abu Râfi’, dari Al-Fadhl bin ‘Abbâs,   bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda …, kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar, “Dan dalam sanadnya ada Abdul Hamid bin Abdirrahman Ath-Thâ`iy. Saya tidak mengenal dia dan saya tidak mengenal bapaknya, dan saya menduga bahwa Abu Râfi’ adalah guru Ath Thâ`iy, bukan Abu Râfi’ Ismâ’il bin Râfi’, salah seorang di antara orang yang lemah haditsnya”. Dari Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/310.

Hadits Kedelapan

Hadits ‘Ali bin Abi Thâlib.
Dikeluarkan oleh Ad-Dâraquthny dari jalan ‘Umar, maula ‘Afarah, bahwa dia berkata, “Bersabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali bin Abi Thâlib, ‘Wahai ‘Ali, saya akan memberimu hadiah …’,”kemudian dia menyebutkan haditsnya.
Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar, “Dalam sanadnya terdapat kelemahan dan keterputusan.” Saya berkata, “Sepertinya yang diinginkan oleh Al-Hâfidz Ibnu Hajar dengan kelemahan yaitu kelemahan pada ‘Umar, maula ‘Afarah, dan dia adalah ‘Umar bin ‘Abdillah Al-Madany, seorang yang dha’if (lemah haditsnya) , dan yang diinginkan dengan keterputusan adalah bahwa ‘Umar tidak pernah mendengar dari seorang shahabat pun.”
Hadits ini juga memiliki jalan yang lain yang dikeluarkan oleh Al-Wâhidy dalam Kitab Ad-Da’wât dari jalan Ibnu Al-Asy’ats, dari Musa bin Ja’far bin Ismâ ’il bin Mûsa bin Ja’far Ash Shâdiq, dari ayah_ ayahnya secara berurut hingga sampai kepada ‘Ali.
Berkata Al Hâfidz Ibnu Hajar, “Sanad ini disebutkan oleh Abu ‘Ali dalam satu kitab yang dia susun dengan bab-bab yang semuanya dengan sanad ini, dan para ulama telah mengkritiknya (pengarangnya) dan mengkritik kitabnya.” Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41.

Hadits Kesembilan

Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththâb.
Dikeluarkan oleh Al-Hâkim 1/629 no.1236, dan dia berkata, “Ini adalahsanad yang shahih. Tidak ada kotoran di atasnya.”Hukum Al-Hâkim ini dikritik oleh Adz-Dzahaby dalam Talkhish -nya bahwa dalam sanadnya ada Ahmad bin Dâud bin ‘Abdul Ghaffâr Al-Harrâny, bahwa dia dinyatakan pendusta oleh Ad-Dâraquthny. Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah dan Mîzânul I’tidâl.
  Al-Hâfidz Ibnu Hajar berkata dalam Ajwibah -nya, “Dan dikeluarkan oleh Muhammad bin Fudhail dalam kitab Ad-Du’â` dari jalan yang lain, dari Ibnu ‘Umar secara mauqûf.”
Lihat Misykâtul Mashâbîh 3/1781. Saya berkata, “Saya tidak melihat riwayat tersebut dalam kitab Ad-Du’â` , akan tetapi riwayat tersebut dikeluarkan oleh Ad-Dâraquthny dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abân bin Abi ‘Ayyâsy, dari Abu Al-Jauzâ`i, dari ‘Abdullah bin Umar.
Abân bin Abi ‘Ayyâsy matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya) dan dia juga telah mudhtharib (goncang) dalam riwayatnya karena Ad-Dâraquthny, juga meriwayatkan dari jalan Sufyân, dari Abân, dan dia berkata, “Dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Lihat Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/306.

Hadits Kesepuluh

Hadits ‘Abdullah bin Ja’far.
Dikeluarkan oleh Ad-Dâraquthny sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/42 dari dua jalan, dari ‘Abdullah bin Ziyâd bin Sam’ân, dan dia berkata pada salah satu jalannya dari Mu’âwiyah dan Ismâ’il bin ‘Abdullah bin Ja’far. Dia berkata pula pada jalan lain dari ‘Aun pengganti Ismâ’il (yang terdapat di jalan pertama), dari ayah mereka berdua (Mu’âwiyah dan Ismâ’il atau Mu’âwiyah dan ‘Aun), bahwa dia berkata,
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Maukah engkau saya berikan …’,” kemudian dia menyebutkan haditsnya. Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar “Ibnu Sam’ân adalah dha’if (lemah).” Dia berkata dalam Taqrib At-Tahdzib , “Matrûk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bilkadzib (tertuduh berdusta).”Kegoncangan dalam sanad juga menambah lemah hadits ini. Wallâhu A’lam .

Hadits Kesebelas

Hadits Ummu Salamah Al-Anshâriyyah.
Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Qurbân Al-Muttaqîn dari Sa’îd bin Jubair, dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbâs,
“Wahai pamanku …,” Kemudian dia menyebutkan haditsnya. Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar, “Hadits ini gharib (aneh), dan ‘Amr bin Jumaî’, salah seorang rawi hadits ini, adalah lemah, dan mendengarnya Sa’îd bin Jubair dari Ummu Salamah masih perlu dilihat (yaitu tidak mendengar).” Wallâhu A’lam .
Saya berkata, “Amr bin Jumaî’ disebutkan dalam Mizânul I’tidâl , dan dia matrûk (ditinggalkan haditsnya), bahkan dinyatakan berdusta oleh Ibnu Ma’în dan dicurigai memalsukan hadits.”

Para Ulama yang Menshahihkan Hadits Shalat Tasbih.

1. Abu Dâud As-Sijistâny. Beliau berkata, “Tidak ada, dalam masalah shalat Tasbih, hadits yang lebih shahih dari hadits ini.”
2. Ad-Dâraquthny. Beliau berkata, “Hadits yang paling shahih dalam masalah keutamaan Al-Qur`ân adalah (hadits tentang keutamaan) Qul Huwa Allâhu Ahad, dan yang paling shahih dalam masalah keutamaan shalat adalah hadits tentang shalat Tasbih.”
3. Al-Âjurry.
4. Ibnu Mandah.
5. Al-Baihaqy.
6. Ibnu As-Sakan.
7. Abu Sa’ad As-Sam’âny.
8. Abu Musa Al-Madiny.
9. Abu Al-Hasan bin Al-Mufadhdhal Al-Maqdasy.
10. Abu Muhammad ‘Abdurrahim Al-Mishry.
11. Al-Mundziry dalam At-Targhib Wa At-Tarhib dan Mukhtashar Sunan Abu Dâud .
12. Ibnush Shalâh. Beliau berkata, “Shalat Tasbih adalah sunnah, bukan bid’ah. Hadits-haditsnya dipakai beramal dengannya.”
13. An-Nawawy dalam At-Tahdzîb Al -Asma` Wa Al-Lughât .
14. Abu Manshur Ad Dailamy dalam Musnad Al-Firdaus .
15. Shalâhuddin Al-‘Alâi. Beliau berkata, “Hadits shalat Tasbih shahih atau hasan, dan harus (tidak boleh dha’if).”
16. Sirajuddîn Al-Bilqîny. Beliau berkata, “Hadits shalat tasbih shahih dan ia mempunyai jalan-jalan yang sebagian darinya menguatkan sebagian yang lainnya, maka ia adalah sunnah dan sepantasnya diamalkan.”
17. Az-Zarkasyi. Beliau berkata, “Hadits shalat Tasbih adalah shahih dan bukan dha’if apalagi maudhu’ (palsu).”
18. As-Subki.
19. Az-Zubaidy dalam Ithâf As Sâdah Al- Muttaqîn 3/473.
20. Ibnu Nâshiruddin Ad-Dimasqy.
21. Al-Hâfidz Ibnu Hajar dalam Al-Khishâl Al-Mukaffirah Lidzdzunûb Al-Mutaqaddimah Wal Muta` Akhkhirah, Natâijul Afkâr Fî Amâlil Adzkâr dan Al-Ajwibah ‘Alâ Ahâdits Al-Mashâbîh .
22. As-Suyûthy.
23. Al-Laknawy.
24. As-Sindy.
25. Al-Mubârakfûry dalam Tuhfah Al-Ahwadzy .
26. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ahmad Syâkir rahimahullâh .
27. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Nâshiruddîn Al-Albâny rahimahullâh dalam Shahîh Abi Dâud (hadits 1173-1174), Shahîh At-Tirmidzy , Shahîh At-Targhib (1/684-686) dan Tahqîq Al-Misykah (1/1328-1329).
28. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hâdy Al-Wâdi’iy rahimahullâh dalam Ash-Shahîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fî Ash-Shahihain .
Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/42-45, Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/318-322, Al-Adzkâr karya Imam An-Nawawy dengan tahqiq Salim Al-Hilaly 1/481-482, dan Bughyah Al-Mutathawwi` hal. 98-99.

Kesimpulan

Nampak dengan sangat jelas dari uraian di atas, bahwa hadits-hadits shalat tasbih adalah hadits yang shahih atau hasan, dan tidak ada keraguan akan hal tersebut. WallâhuA’lam .

Catatan Penting

Ada beberapa ulama yang melemahkan hadits shalat tasbih ini, akan tetapi, andaikata bukan karena kekhawatiran pembahasan ini menjadi lebih panjang, niscaya akan kami sebutkan perkataan-perkataan para ulama tersebut dan dalil-dalil mereka berikut dengan bantahan terhadap mereka. Wallâhul Musta’ân .

Kandungan Faidah Shalat Tasbih.

Tata Cara Shalat.
Secara umum, shalat tasbih sama dengan tata cara shalat yang lain, hanya saja ada tambahan bacaan tasbih yaitu:

ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ
Lafadz ini diucapkan sebanyak 75 kali pada tiap raka’at dengan perincian sebagai berikut.
Sesudah membaca Al-Fatihah dan surah sebelum ruku sebanyak 15 kali,
Ketika ruku’ sesudah membaca do’a ruku’ dibaca lagi sebanyak 10 kali,
Ketika bangun dari ruku’ sesudah bacaan i’tidal dibaca 10 kali,
Ketika sujud pertama sesudah membaca do’a sujud dibaca 10 kali,
Ketika duduk diantara dua sujud sesudah membaca bacaan antara dua sujud dibaca 10 kali,
Ketika sujud yang kedua sesudah membaca do’a sujud dibaca lagi sebanyak 10 kali,
Ketika bangun dari sujud yang kedua sebelum bangkit (duduk istirahat) dibaca lagi sebanyak 10 kali.
Demikianlah rinciannya, Bahwa shalat Tasbih dilakukan sebanyak 4 raka’at dengan sekali tasyahud, yaitu pada raka’at yang keempat lalu salam.
Bisa juga dilakukan dengan cara dua raka’at-dua raka’at, di mana setiap dua raka’at membaca tasyahud kemudian salam. Wallâhu A’lam .
Jumlah Raka’at
 Semua riwayat menunjukkan 4 raka’at, dengan tasbih sebanyak 75 kali tiap raka’at, jadi keseluruhannya 300 kali tasbih.
Waktu Shalat
Waktu shalat tasbih yang paling utama adalah sesudah tenggelamnya matahari, sebagaimana dalam riwayat ‘Abdullah bin Amr. Tetapi dalam riwayat Ikrimah yang mursal diterangkan bahwa boleh malam hari dan boleh siang hari. Wallâhu A’lam .

Catatan

Terdapat pilihan dalam shalat ini. Jika mampu, bisa dikerjakan tiap hari. Jika tidak mampu, bisa tiap pekan. Jika masih tidak mampu, bisa tiap bulan. Jika tetap tidak mampu, bisa tiap tahun atau hanya sekali seumur hidup. Karena itu, hendaklah kita memilih mana yang paling sesuai dengan kondisi kita masing-masing.

Kesimpulan

Hadits tentang shalat tasbih adalah hadits yang tsabit /sah dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam , maka boleh diamalkan sesuai dengan tata cara yang telah disebutkan diatas.

Penutup

Untuk melengkapi pembahasan yang singkat ini, maka kami juga sertakan penyimpangan-penyimpangan (bid’ah–bid’ah) yang banyak terjadi sekitar pelaksanaan shalat tasbih, di antaranya:

1. Mengkhususkan pelaksanaannya pada malam Jum’at saja.
2. Dilakukan secara berjama’ah terus menerus.
3. Diiringi dengan bacaan-bacaan tertentu, baik sebelum maupun sesudah shalat.
4. Tidak mau shalat kecuali bersama imamnya,  jamaahnya, atau tarekatnya.
5. Tidak mau shalat kecuali di masjid tertentu.
6. Keyakinan sebagian orang yang melakukannya bahwa rezekinya akan bertambah dengan shalat tasbih.
7. Membawa binatang-binatang tertentu untuk disembelih saat sebelum atau sesudah shalat tasbih, disertai dengan keyakinan-keyakinan tertentu.

Semoga Bermanfaat